Sutra Penjelasan Keadaan KeBuddhaan Yang Tak Terbayangkan
Demikianlah telah kudengar:
Suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di taman milik Anathapindika, di Taman Jeta dekat Shravasti, diiringi dengan seribu orang bhikshu, sepuluh ribu Bodhisattva-Mahasattva, dan banyak dewa dari Alam Nafsu (Kamaloka) dan Alam Bentuk (Rupaloka).
Pada waktu itu, Manjusri Bodhisattva-Mahasattva dan dewa Suguna hadir di antara perkumpulan tersebut. Yang Dimuliakan berkata pada Manjusri, “Kamu harus menjelaskan keadaan Kebuddhaan yang mendalam untuk para dewa dan para Bodhisattva dalam perkumpulan ini.”
Manjusri berkata kepada Sang Buddha, “Baiklah, Yang Dimuliakan. Jika pria dan wanita yang baik hati ingin mengetahui keadaan Kebuddhaan, mereka harus mengetahui bahwa ini bukanlah keadaan dari mata, telinga, hidung, lidah, tubuh, atau pikiran; bukan pula keadaan dari bentuk-bentuk, suara-suara, bebauan, rasa, sentuhan, atau objek pikiran. Yang Dimuliakan, tanpa keadaan adalah keadaan Kebuddhaan. Inilah yang menjadi masalahnya, apakah keadaan dari pencerahan sempurna seperti yang dicapai oleh Sang Buddha?”
Sang Buddha berkata, “Ini adalah keadaan dari kekosongan, karena semua pandangan adalah sama. Ini adalah keadaan dari tanpa tanda, karena semua tanda adalah sama. Ini adalah keadaan dari tanpa keinginan karena ketiga alam adalah sama. Ini adalah keadaan dari tanpa tindakan, karena semua tindakan adalah sama. Ini adalah keadaan dari yang tidak berkondisi, karena semua hal yang berkondisi adalah sama.”
Manjusri bertanya, “Yang Dimuliakan, apakah keadaan dari yang tidak berkondisi itu?”
Sang Buddha berkata, “Ketiadaan pikiran adalah keadaan dari yang tidak berkondisi.”
Manjusri berkata, “Yang Dimuliakan, jika keadaan yang tidak berkondisi dan seterusnya adalah keadaan Kebuddhaan, dan keadaan yang tidak berkondisi adalah ketiadaan pikiran, kemudian atas dasar apakah keadaan Kebuddhaan diungkapkan? Jika tidak ada dasar yang demikian, maka tidak ada yang dapat dikatakan; dan karena tidak ada yang dapat dikatakan, tidak ada yang dapat diungkapkan. Oleh karena itu, Yang Dimuliakan, keadaan Kebuddhaan tidak dapat diungkapkan dalam kata-kata.”
Sang Buddha bertanya, “Manjusri, di manakah keadaan Kebuddhaan seharusnya dicari?”
Manjusri menjawab, “Ia harus dicari tepat di dalam kekotoran batin makhluk-mahkluk. Mengapa, karena pada dasarnya kekotoran batin makhluk-makhluk tidak dapat dipahami. Perwujudan dari hal ini melampaui pemahaman para Sravaka dan Pratyekabuddha; oleh sebab itu, ia disebut keadaan Kebuddhaan.”
Sang Buddha bertanya pada Manjusri, “Apakah keadaan Kebuddhaan bertambah atau berkurang?”
“Ia tidak bertambah ataupun berkurang.”
Sang Buddha bertanya, “Bagaimana seseorang memahami sifat dasar dari kekotoran batin semua mahkluk?”
“Sama seperti keadaan Kebuddhaan tidak bertambah ataupun berkurang, maka dengan sifat dasar mereka kekotoran batin tidak bertambah ataupun berkurang.”
Sang Buddha bertanya, “Apakah sifat dasar kekotoran batin?”
“Sifat dasar kekotoran batin adalah sifat dasar dari keadaan Kebuddhaan. Yang Dimuliakan, jika sifat dasar kekotoran batin berbeda dari sifat dasar keadaan Kebuddhaan, maka tidak dapat dikatakan bahwa Sang Buddha berdiam di dalam kesamaan dari semua benda. Ini karena sifat kekotoran batin adalah sifat sangat dasar dari keadaan Kebuddhaan sehingga Sang Tathágata dikatakan berdiam dalam kesamaan.”
Sang Buddha bertanya lebih lanjut, “Dalam kesamaan apakah kamu pikir Sang Tathágata berdiam?”
“Seperti yang aku pahami, Sang Tathágata berdiam dalam kesamaan yang benar-benar sama di mana makhluk-makhluk yang berbuat dengan keinginan, kebencian, dan kebodohan tinggal.”
Sang Buddha bertanya, “Dalam kesamaan apakah makhluk-makhluk yang bertindak dengan ketiga racun itu tinggal?”
“Mereka tinggal dalam kesamaan dari kekosongan, tanpa tanda, dan tanpa keinginan.”
Sang Buddha bertanya, “Manjusri, dalam kekosongan, bagaimana terdapat keinginan, kebencian, dan kebodohan?”
Manjusri menjawab, “Tepat di dalam yang ada terdapat kekosongan, di mana keinginan, kebencian, dan kebodohan juga ditemukan.”
Sang Buddha bertanya, “Dalam keberadaan apakah terdapat kekosongan?”
“Kekosongan dikatakan ada hanya dalam kata-kata dan bahasa. Karena terdapat kekosongan, terdapat keinginan, kebencian, dan kebodohan. Sang Buddha telah mengatakan, ‘Para bhikshu! Yang tidak muncul, tidak berkondisi, tanpa tindakan, dan tidak berasal mula semuanya ada. Jika semua ini tidak ada, maka seseorang tidak dapat berkata tentang yang muncul, yang berkondisi, tindakan, dan asal mula. Oleh sebab itu, para bhikshu, karena terdapat yang tidak muncul, tidak berkondisi, tanpa tindakan, tidak berasal mula, seseorang dapat berkata tentang keberadaan yang muncul, berkondisi, tindakan, dan asal mula.’ Sama halnya, Yang Dimuliakan, jika tidak ada kekosongan, tanpa tanda, atau tanpa keinginan, seseorang tidak dapat berkata tentang keinginan, kebencian, kebodohan, atau gagasan-gagasan lainnya.”
Sang Buddha berkata, “Manjusri, jika ini adalah masalahnya, maka pasti ada, seperti yang kamu katakan. Bahwa siapa yang berdiam dalam kekotoran batin tinggal dalam kekosongan.”
Manjusri berkata, “Yang Dimuliakan. Jika seorang meditator mencari kekosongan terpisah dari kekotoran batin, pencariannya akan sia-sia. Bagaimana terdapat kekosongan yang berbeda dari kekotoran? Jika ia merenungkan kekotoran batin sebagai kekosongan, ia dikatakan berlatih dalam praktek yang benar.”
Sang Buddha bertanya, “Manjusri, apakah kamu memisahkan diri dari kekotoran batin atau berdiam di dalamnya?”
Manjusri berkata, “Semua kekotoran batin adalah sama [dalam kenyataan]. Aku telah menyadari kesamaan itu melalui praktek yang benar. Oleh karena itu, aku tidak memisahkan diri dari kekotoran batin ataupun berdiam di dalamnya. Jika seorang sramana atau Brahmana mengaku bahwa ia telah mengatasi nafsu keinginan dan melihat makhluk-makhluk lain diliputi kekotoran batin, ia telah jatuh ke dalam dua pandangan ekstrem. Apakah keduanya itu? Yang satu adalah pandangan eternalisme, yang menyatakan bahwa kekotoran batin ada; yang lainnya adalah pandangan nihilisme, yang menyatakan bahwa kekotoran batin tidak ada.”
“Yang Dimuliakan, ia yang menjalankan praktek yang benar tidak melihat benda-benda sebagai diri sendiri atau orang lain, ada atau tidak ada. Mengapa? Karena ia dengan jelas memahami semua dharma.”
Sang Buddha bertanya, “Manjusri, bergantung pada apakah seharusnya seseorang untuk praktek yang benar?”
“Ia yang menjalankan praktek dengan benar tidak bergantung pada apa pun.”
Sang Buddha bertanya, “Apakah ia tidak menjalankan praktek berdasarkan pada sang jalan?”
“Jika ia menjalankan praktek sesuai dengan apa pun, prakteknya akan menjadi berkondisi. Praktek yang berkondisi bukanlah salah satu dari kesamaan. Mengapa? Karena ini tidak bebas dari kemunculan, kediaman, dan kemusnahan.”
Sang Buddha bertanya kepada Manjusri, “Adakah pengelompokan di dalam yang tidak berkondisi?”
Manjusri menjawab, “Yang Dimuliakan, jika terdapat pengelompokan dalam yang tidak berkondisi, maka yang tidak berkondisi akan menjadi berkondisi dan tidak lagi akan menjadi yang tidak berkondisi.”
Sang Buddha berkata, “Jika yang tidak berkondisi dapat direalisasi oleh para Arahat, maka terdapat hal yang seperti itu di dalam yang tidak berkondisi; bagaimana dapat kamu katakan tidak ada pengelompokan di dalamnya?”
“Benda-benda tidak memiliki pengelompokan, dan para Arahat telah melampaui pengelompokan. Itulah sebabnya mengapa Aku mengatakan tidak ada pengelompokan.”
Sang Buddha bertanya, “Manjusri, tidakkah kamu mengatakan kamu telah mencapai Kearahatan?”
Manjusri berbalik bertanya, “Yang Dimuliakan, andaikata seseorang bertanya pada seorang yang diciptakan secara sihir, ‘Tidakkah kamu mengatakan kamu telah mencapai Kearahatan?’ Apakah yang akan menjadi jawabannya?”
Sang Buddha menjawab Manjusri, “Seseorang tidak dapat mengatakan pencapaian atau bukan pencapaian dari seorang yang diciptakan secara sihir.”
Manjusri bertanya, “Tidakkah Sang Buddha telah mengatakan bahwa semua benda bagaikan khayalan?”
Sang Buddha menjawab, “Demikianlah telah Ku-katakan.”
“Jika semua benda bagaikan khayalan, mengapa Anda menanyakan apakah aku telah mencapai Kearahatan atau belum?”
Sang Buddha bertanya, “Manjusri, kesamaan apakah di dalam tiga kendaraan yang telah kamu realisasikan?”
“Aku telah merealisasi kesamaan dari keadaan Kebuddhaan?”
Sang Buddha bertanya, “Apakah kamu telah mencapai keadaan Kebuddhaan?”
“Jika Yang Dimuliakan telah mencapainya, maka aku juga telah mencapainya.”
Setelah itu, Yang Mulia Subhuti bertanya pada Manjusri, “Bukankah Sang Tathágata telah mencapai keadaan Kebuddhaan?”
Manjusri berbalik bertanya, “Apakah kamu telah mencapai sesuatu dalam keadaan Sravaka?”
Subhuti menjawab, “Pembebasan seorang Arahat bukanlah sebuah pencapaian ataupun bukan pencapaian.”
“Demikian pula, pembebasan Sang Tathágata bukanlah keadaan ataupun non-keadaan.”
Subhuti berkata, “Manjusri, kamu tidak membimbing para Bodhisattva pemula dengan mengajarkan Dharma melalui cara ini.”
Manjusri bertanya, “Subhuti, bagaimana pendapatmu? Andaikan seorang tabib, dalam merawat pasien-pasiennya, tidak memberikan mereka obat-obatan yang pedas, asam, dan kecut. Apakah ia menolong mereka untuk sembuh atau menyebabkan mereka meninggal?”
Subhuti menjawab, “Ia menyebabkan mereka menderita dan meninggal dunia alih-alih memberikan mereka kedamaian dan kebahagian.”
Manjusri berkata, “Demikianlah halnya dengan seorang guru Dharma. Jika, dalam membimbing orang lain, ia khawatir mereka mungkin akan takut dan demikian menyembunyikan dari mereka makna Dharma yang mendalam dan sebagai gantinya, mengatakan pada mereka dalam kata-kata yang tidak sesuai dan ungkapan khayalan, maka ia menyebabkan makhluk-makhluk menanggung derita kelahiran, usia tua, penyakit, dan kematian, alih-alih memberikan mereka kemakmuran, kedamaian, kebahagiaan, dan Nirvana.”
Ketika Dharma ini dijelaskan, lima ratus bhikshu terbebaskan dari kemelekatan pada semua dharma, bersih dari kekotoran batin dan terbebaskan dalam pikiran; delapan puluh ribu dewa meninggalkan noda-noda alam keduniawian yang jauh di belakang dan mencapai mata Dharma yang murni yang melihat menembus semua dharma; tujuh ratus dewa bertekad untuk mencapai Pencerahan Sempurna dan berikrar: “Pada masa yang akan datang, kami akan mencapai kepandaian berbicara seperti yang dimiliki Manjusri.”
Kemudian Sesepuh Subhuti bertanya kepada Manjusri, “Apakah kamu tidak menjelaskan Dharma dari kendaraan Sravaka (Sravaka-yana) kepada para Sravaka?”
“Aku mengikuti Dharma dari semua kendaraan.”
Subhuti bertanya, “Apakah kamu seorang Sravaka, seorang Pratyekabuddha, atau seorang Yang Berharga, seorang Samyaksambuddha?”
“Aku adalah seorang Sravaka, tetapi pemahamanku tidak datang melalui perkataan orang lain. Aku seorang Pratyekabuddha, tetapi aku tidak melepaskan belas kasihan ataupun takut dengan apa pun. Aku seorang Yang Berharga, seorang Samyaksambuddha, tetapi aku masih belum meninggalkan ikrar-ikrarku yang semula.”
Subhuti bertanya, “Mengapa kamu adalah seorang Sravaka?”
“Karena aku menyebabkan makhluk-makhluk mendengarkan Dharma yang belum pernah mereka dengar.”
“Mengapa kamu adalah seorang Pratyekabuddha?”
“Karena aku sepenuhnya memahami sebab akibat yang saling bergantungan dari semua dharma.”
“Mengapa kamu adalah seorang Yang Berharga, seorang Samyaksambuddha?”
“Karena aku menyadari bahwa semua benda adalah sama di dalam Dharmadhatu.”
Subhuti bertanya, “Manjusri, dalam tingkat apakah kamu sebenarnya berdiam?”
“Aku berdiam dalam setiap tingkat.”
Subhuti bertanya, “Mungkinkah bahwa kamu juga berdiam dalam tingkat orang biasa?”
Manjusri berkata, “Aku tentu saja berdiam dalam tingkat orang biasa.”
Subhuti bertanya, “Dengan sebab mendalam apakah kamu berkata demikian?”
“Aku berkata demikian karena semua dharma adalah sama pada dasarnya.”
Subhuti bertanya, “Jika semua dharma adalah sama, di manakah dharma seperti tingkat dari para Sravaka, para Pratyekabuddha, para Bodhisattva, dan para Buddha dikembangkan?”
Manjusri menjawab, ”Sebagai gambaran, pikirkanlah tentang angkasa kosong di sepuluh arah. Orang-orang mengatakan angkasa sebelah timur, angkasa sebelah selatan, angkasa sebelah barat, angkasa sebelah utara, empat angkasa di antaranya, angkasa sebelah atas, angkasa sebelah bawah, dan seterusnya. Perbedaan ini diucapkan, walaupun angkasa kosong itu sendiri tanpa perbedaan-perbedaan. Dengan cara yang sama, Yang Mulia, tingkat-tingkat yang berbeda dikembangkan di dalam kekosongan dari semua benda, walaupun kekosongan itu sendiri tanpa perbedaan.”
Subhuti bertanya, “Apakah kamu telah memasuki realisasi Kearahatan dan selamanya terbebas dari samsara?”
“Aku telah memasukinya dan keluar darinya.”
Subhuti bertanya, “Mengapa kamu keluar darinya setelah kamu memasukinya?”
Manjusri menjawab, “Yang Mulia, anda harus mengetahui bahwa ini adalah perwujudan dari kebijaksanaan dan kearifan seorang Bodhisattva. Ia sesungguhnya memasuki realisasi Kearahatan dan terbebas dari samsara; kemudian, sebagai cara untuk menyelamatkan makhluk-makhluk, ia keluar dari realisasi itu. Subhuti, misalkan seorang pemanah yang ahli merencanakan untuk melukai musuh bebuyutannya, tetapi, karena salah menyangka putra kesayangannya di dalam hutan sebagai musuh, ia menembakkan panah padanya. Putranya berkata, ‘Aku tidak melakukan kesalahan apa pun. Mengapa ayah ingin melukaiku?’ Seketika itu juga, sang pemanah, yang berlari dengan cepat, mendorong putranya dan menangkap panah itu sebelum ia melukai seseorang. Seorang Bodhisattva adalah seperti ini: untuk melatih dan membimbing para Sravaka dan para Pratyekabuddha, ia memasuki Nirvana; tetapi, ia keluar darinya dan tidak jatuh ke tingkat Sravaka dan Pratyekabuddha. Itulah mengapa tingkat Bodhisattva disebut tingkat Buddha.”
Subhuti bertanya, “Bagaimana seorang Bodhisattva mencapai tingkat ini?”
Manjusri menjawab, “Jika para Bodhisattva berdiam dalam semua tingkat dan juga tidak berdiam di mana-mana, mereka dapat mencapai tingkat ini.”
“Jika mereka dapat mengajar pada semua tingkat tetapi tidak berdiam di tingkat yang lebih rendah, mereka dapat mencapai tingkat Buddha ini.”
“Jika mereka menjalankan praktek dengan tujuan mengakhiri penderitaan semua makhluk, tetapi menyadari tidak ada akhir di dalam Dharmadhatu; jika mereka berdiam di dalam yang tidak berkondisi, tetapi melakukan perbuatan-perbuatan yang berkondisi; jika mereka tetap berada dalam samsara, tetapi menganggapnya sebagai sebuah taman dan tidak mencari Nirvana sebelum semua ikrar mereka terpenuhi - maka mereka dapat mencapai tingkat ini.”
“Jika mereka menyadari ketanpa-akuan, tetapi membawa makhluk-makhluk pada kedewasaan, mereka dapat mencapai tingkat ini.”
“Jika mereka mencapai kebijaksanaan Buddha tetapi tidak membangkitkan kemarahan atau kebencian terhadap mereka yang kurang bijaksana, mereka dapat mencapai tingkat ini.”
“Jika mereka menjalankan praktek dengan memutar roda Dharma bagi mereka yang mencari Dharma tetapi tidak membuat perbedaan di antara benda-benda, mereka dapat mencapai tingkat ini.”
“Lebih lanjut, jika para Bodhisattva menaklukkan para setan tetapi mengambil bentuk sebagai empat setan, mereka dapat mencapai tingkat ini.”
Subhuti berkata, “Manjusri, praktek-praktek seorang Bodhisattva seperti ini adalah sangat sulit bagi makhluk duniawi mana pun untuk dipercaya.”
Manjusri berkata, “Demikianlah, demikianlah, seperti yang kamu katakan. Para Bodhisattva melakukan perbuatan-perbuatan di dalam dunia fana tetapi melebihi dharma-dharma duniawi.”
Subhuti berkata, “Manjusri, mohon katakan padaku bagaimana mereka melebihi dunia fana.”
Manjusri berkata, “Lima kelompok kehidupan (pancaskhanda) menyusun apa yang kita sebut dunia fana. Dari kelima kelompok ini, kelompok bentuk (rupaskhanda) memiliki sifat seperti busa yang berkumpul, kelompok perasaan (vedanaskhanda) memiliki sifat seperti sebuah gelembung, kelompok pencerapan (samjnaskhanda) memiliki sifat seperti sebuah fatamorgana, kelompok bentuk-bentuk pikiran (samkharaskhanda) memiliki sifat seperti sebuah rumput layu, dan kelompok kesadaran (vijnanaskhanda) memiliki sifat seperti sebuah khayalan. Demikianlah, seseorang harus mengetahui bahwa sifat pokok dari dunia fana tidak lain dari sifat dari busa, gelembung, fatamorgana, rumput, dan khayalan; sehingga tidak ada kelompok kehidupan ataupun nama-nama kelompok kehidupan, tidak ada makhluk-makhluk ataupun nama-nama makhluk, tidak ada dunia fana ataupun dunia di atas fana. Pemahaman terhadap kelompok kehidupan yang benar seperti ini disebut pemahaman tertinggi. Jika seseorang mencapai pemahaman tertinggi ini, maka ia terbebaskan. Jika ia tidak melekat pada benda-benda duniawi, ia melebihi dunia fana.”
“Lebih lanjut, Subhuti, sifat dasar dari lima kelompok kehidupan adalah kekosongan. Jika sifat itu adalah kekosongan, tidak ada ‘aku’ ataupun ‘milikku’. Jika tidak ada ‘aku’ ataupun ‘milikku’, tidak ada dualitas. Jika tidak ada dualitas, tidak ada ketamakan ataupun keinginan. Jika tidak ada ketamakan ataupun keinginan, tidak ada kemelekatan. Demikianlah, dengan bebas dari kemelekatan, seseorang melebihi dunia fana.”
“Lebih lanjut, Subhuti, lima kelompok kehidupan tunduk pada sebab dan kondisi. Jika mereka tunduk pada sebab dan kondisi, mereka bukan milik seseorang atau orang lain. Jika mereka bukan milik seseorang atau orang lain, mereka bukan milik siapa-siapa. Jika mereka bukan milik siapa-siapa, tidak ada orang yang menggenggam mereka. Jika tidak ada genggaman, tidak ada perdebatan, dan tanpa perdebatan adalah praktek para umat beragama. Sama seperti sebuah tangan yang bergerak dalam ruang kosong tidak menyentuh objek dan tidak menemui hambatan, demikian para Bodhisattva yang menjalankan praktek kesamaan dari kekosongan melebihi dunia fana.”
“Lebih lanjut, Subhuti, karena semua unsur dari lima kelompok kehidupan menyatu di dalam Dharmadhatu, tidak ada alam-alam kehidupan. Jika tidak ada alam-alam kehidupan, tidak ada unsur tanah, air, api, atau udara; tidak ada keakuan, makhluk hidup, atau kehidupan; tidak ada Alam Nafsu (Kamaloka), Alam Bentuk (Rupaloka), atau Alam Tanpa Bentuk (Arupaloka); tidak ada alam yang berkondisi atau alam yang tidak berkondisi; tidak ada samsara atau Nirvana. Ketika para Bodhisattva memasuki daerah yang demikian bebas dari perbedaan, mereka tidak berdiam di mana pun, walaupun mereka tetap berada di tengah-tengah makhluk-makhluk duniawi.”
Ketika Dharma yang melebihi duniawi ini dijelaskan, dua ratus bhikshu terlepas dari semua dharma, mengakhiri semua kekotoran batin mereka, dan terbebas dalam pikiran. Satu per satu mereka melepaskan jubah bagian atas mereka untuk dipersembahkan kepada Manjusri, dengan berkata, “Siapa pun yang tidak memiliki keyakinan atau pemahaman dalam ajaran ini tidak akan mencapai apa pun dan tidak merealisasi apa pun.”
Kemudian Subhuti bertanya pada para bhikshu ini, “Para tetua, apakah kalian pernah mencapai atau merealisasi sesuatu?”
Para bhikshu menjawab, “Hanya orang-orang yang sombong yang akan mengaku mereka telah mencapai dan merealisasi sesuatu. Bagi seorang umat beragama yang rendah hati, tidak ada yang dicapai atau direalisasikan. Lalu, bagaimana seseorang yang seperti ini berpikir untuk mengatakan dirinya sendiri, ‘Inilah yang telah kucapai; inilah yang telah kurealisasikan’? Jika gagasan seperti ini muncul dalam dirinya, maka ini adalah perbuatan setan.”
Subhuti bertanya, “Para tetua, berdasarkan pemahaman kalian, pencapaian dan realisasi apakah yang menyebabkan kalian berkata demikian?”
Para bhikshu menjawab, “Hanya Sang Buddha, Yang Dimuliakan, dan Manjusri yang mengetahui pencapaian dan realisasi kami. Yang Mulia, pemahaman kami adalah: mereka yang tidak sepenuhnya mengetahui sifat penderitaan tetapi mengaku bahwa penderitaan harus dipahami adalah orang-orang yang sombong. Demikian juga, jika mereka mengaku bahwa sebab penderitaan harus dimusnahkan, bahwa penghentian penderitaan harus direalisasikan dan bahwa jalan menuju penghentian penderitaan harus diikuti, mereka adalah orang-orang yang sombong. Orang-orang yang sombong juga adalah mereka yang tidak benar-benar mengetahui sifat penderitaan, sebab penderitaan, penghentian penderitaan, atau jalan menuju penghentian penderitaan, tetapi mengaku bahwa mereka mengetahui penderitaan, telah memusnahkan sebab penderitaan, telah merealisasi penghentian penderitaan, dan telah mengikuti jalan menuju penghentian penderitaan.”
“Apakah sifat penderitaan itu? Ini adalah sifat paling dasar dari yang tidak muncul. Hal yang sama juga berlaku untuk karakteristik dari sebab penderitaan, penghentian penderitaan, dan jalan menuju penghentian penderitaan. Sifat dasar dari yang tidak muncul adalah tanpa tanda dan tidak dapat dicapai. Di dalamnya, tidak ada penderitaan untuk diketahui, tidak ada sebab penderitaan untuk dimusnahkan, tidak ada penghentian penderitaan untuk direalisasi, dan tidak ada jalan menuju penghentian penderitaan untuk diikuti. Mereka yang tidak takut, khawatir, atau terkejut ketika mendengar Kebenaran Mulia ini bukanlah orang-orang yang sombong. Mereka yang takut dan khawatir adalah orang-orang yang sombong.”
Setelah itu, Yang Dimuliakan memuji para bhikshu itu, dengan berkata, “Benar sekali yang mereka katakan!”
Beliau berkata pada Subhuti, “Para bhikshu ini mendengarkan Manjusri menjelaskan Dharma yang mendalam ini pada masa Kasyapa Buddha. Karena mereka telah menjalankan Dharma yang mendalam ini sebelumnya, mereka sekarang dapat mengikutinya dan memahaminya dengan cepat. Hal yang sama, semua orang yang mendengar, meyakini, dan memahami ajaran yang mendalam ini dalam masa-Ku akan berada di antara perkumpulan dari Maitreya Buddha pada masa yang akan datang.”
Kemudian dewa Suguna berkata kepada Manjusri, “Yang Mulia, anda telah berulang kali mengajarkan Dharma ini di dunia ini. Sekarang kami memohon anda untuk pergi ke Surga Tushita. Selama waktu yang lama, para dewa di sana telah juga menanam akar-akar kebajikan. Mereka akan dapat memahami Dharma jika mereka mendengarnya. Tetapi, karena mereka melekat pada kesenangan surgawi mereka, mereka tidak dapat meninggalkan surga mereka dan datang kepada Sang Buddha untuk mendengarkan Dharma, dan akibatnya mereka menderita kerugian besar.”
Manjusri dengan cepat melakukan sebuah keajaiban yang menyebabkan dewa Suguna dan semua makhluk lain dalam perkumpulan itu percaya bahwa mereka telah tiba di Surga Tushita. Mereka melihat taman-taman, hutan-hutan, istana-istana dan bangunan yang mengagumkan dengan pagar-pagar terali dan jendela-jendela yang mewah, menara bertingkat dua puluh yang luas dan tinggi dengan jaring dan tirai yang berhiaskan permata, bunga-bunga surgawi yang menutupi tanah, burung-burung yang bermacam-macam dan menakjubkan terbang melayang secara berkelompok dan berkicauan, dewi-dewi di udara menaburkan bunga dari pohon erythrina, menyanyikan syair-syair dalam paduan suara, dan bermain dengan riang gembira.
Melihat semua ini, dewa Suguna berkata kepada Manjusri, “Ini luar biasa, Manjusri! Bagaimana kita dapat tiba dengan sangat cepat di istana Surga Tushita untuk melihat taman-taman dan para dewa di sini? Manjusri, sudikah kamu mengajarkan kami Dharma ini?”
Sesepuh Subhuti berkata pada Suguna, “Putra surga, kamu tidak meninggalkan perkumpulan atau pergi ke mana pun. Ini adalah kekuatan batin Manjusri yang menyebabkan kamu melihat diri kamu sendiri di istana Surga Tushita.”
Dewa Suguna berkata kepada Sang Buddha, “Betapa langkahnya, Yang Dimuliakan! Manjusri memiliki kekuatan samádhi dan kekuatan batin sehingga dalam sekejab ia menyebabkan seluruh perkumpulan ini muncul di istana Surga Tushita.”
Sang Buddha berkata, “Putra surga, apakah ini pemahamanmu atas kekuatan batin Manjusri? Seperti yang Ku-pahami, jika Manjusri menginginkannya, ia dapat mengumpulkan semua jasa dan sifat yang mengagumkan dari tanah-tanah Buddha sebanyak pasir di sungai Gangga dan menyebabkan mereka muncul dalam satu tanah Buddha. Ia dapat dengan satu ujung jari mengangkat tanah-tanah Buddha di bawah tanah Buddha kita, yang sebanyak pasir di sungai Gangga, dan menaruh mereka di ruang angkasa kosong di puncak tanah-tanah Buddha di atas kita, yang juga sebanyak pasir di sungai Gangga. Ia dapat menaruh semua air dari empat samudera besar dari semua tanah Buddha ke dalam sebuah pori-pori tanpa membuat makhluk-makhluk air di dalamnya merasa sesak atau memindahkan mereka dari lautan. Ia dapat menaruh semua Gunung Sumeru dari semua dunia ke dalam sebiji sesawi, namun para dewa di gunung-gunung ini akan merasa bahwa mereka masih tinggal di tempat mereka masing-masing. Ia dapat menempatkan semua makhluk dari lima alam kehidupan dari semua tanah Buddha pada telapak tangannya, dan menyebabkan mereka melihat semua jenis benda yang indah seperti yang terdapat di negeri-negeri yang menyenangkan dan menakjubkan. Ia dapat mengumpulkan semua api dari semua dunia ke dalam sehelai katun. Ia dapat menggunakan sebuah tempat sekecil pori-pori untuk gerhana penuh setiap matahari dan bulan di setiap tanah Buddha. Singkatnya, ia dapat menyelesaikan apa pun yang ia ingin lakukan.”
Pada waktu itu, Papiyan, Si Jahat, mengubah dirinya menjadi seorang bhikshu dan berkata pada Sang Buddha, “Yang Dimuliakan, kami berharap melihat Manjusri melakukan keajaiban seperti itu sekarang juga. Apa gunanya mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal, yang tidak ada orang di dunia ini dapat percaya?”
Yang Dimuliakan berkata pada Manjusri, “Kamu harus mewujudkan kekuatan batinmu tepat di hadapan perkumpulan ini.” Setelah itu, tanpa bangkit dari tempat duduknya, Manjusri memasuki Samadhi Kebebasan Batin Sempurna dalam Memuliakan Semua Dharma, dan mempertunjukkan semua keajaiban yang dijelaskan Sang Buddha.
Melihat hal ini, Si Jahat, para anggota perkumpulan, dan dewa Suguna semuanya memuji kejadian yang tak pernah terjadi ini, dengan berkata. “Menakjubkan, menakjubkan! Karena kemunculan Sang Buddha di dunia ini, kita sekarang memiliki Bodhisattva ini yang dapat melakukan keajaiban seperti ini dan membukakan pintu Dharma untuk dunia.”
Setelah itu, Si Jahat, yang terinspirasi oleh kekuatan Manjusri yang mengagumkan, berkata, “Yang Dimuliakan, betapa menakjubkan bahwa Manjusri memiliki kekuatan batin yang demikian besar! Dan para anggota perkumpulan ini, yang sekarang memahami dan memiliki keyakinan di dalam Dharma melalui pertunjukan keajaiban ini, juga mengagumkan. Yang Dimuliakan, bahkan jika terdapat setan-setan sebanyak pasir di sungai Gangga, mereka tidak akan dapat merintangi pria dan wanita yang baik hati ini, yang memahami dan meyakini Dharma.”
“Aku, Papiyan Si Jahat, selalu mencari kesempatan untuk menentang Sang Buddha dan membuat kekacauan di antara makhluk-makhluk. Sekarang aku berikrar bahwa, sejak hari ini, aku tidak akan pernah pergi lebih dekat dari seratus league dari tempat di mana ajaran ini dijalankan, atau di mana orang-orang memiliki keyakinan, memahami, mencintai, menerima, membacakan, mengulangi, dan mengajarkan ajaran ini.”
"Tetapi, Yang Dimuliakan, beberapa sanak keluargaku berketetapan untuk mengalihkan pikiran para umat untuk menghancurkan Dharma Sang Tathagata. Aku akan melantunkan dharani berikut sehingga para umat dapat menaklukkan para setan ini. Jika laki-laki atau perempuan yang baik membaca, menulis, dan mengulangi mantra ini, atau mengajarkannya kepada orang lain, para setan surgawi akan mendapatkan manfaat dan sebaliknya akan menyebabkan orang yang mengajarkan Dharma ini merasa gembira dalam tubuh dan pikiran, berlatih dengan penuh semangat, memiliki kelancaran berbicara dan dharani-dharani, dan tidak kekurangan pelayanan, makanan dan minuman, pakaian, selimut, atau obat-obatan."
"TADYATHA AMALA VIMALE STHITATVE AKALAVANIRJITASATRU JAYE JAYAVATI BHUTAMATISAME SvANATI APHUME BUSUME ADHIRE AGEMAKHE KHAKHEYISILE AGAMEPHULELA PHULAPHULE PHASUME SUSUMA DHIDHIRE ANAVANATE STHITATE KRITARATE KRITABHIDHYE PIROCATANA SADDHARMABHANAKOSYA SUTRATRASYADHARIKA ABHRABUGATA IVASUURYASVAHA."
Kemudian, Papiyan mengatakan, "Yang Dimuliakan, jika laki-laki yang baik atau perempuan yang baik menerima dharani ini dengan sepenuh hati dan melantunkannya dengan konsentrasi, mereka akan dilindungi oleh para dewa, naga, yakkha, gandharva, asura, garuda, kinnara, dan mahoraga, dan tidak ada para setan jahat dapat mengambil keuntungan dari mereka."
Ketika Papiyan Si Jahat mengucapkan mantra ini, guncangan dalam enam jenis terjadi di alam semesta milyaran-dunia.
Yang Dimuliakan kemudian berkata kepada Papiyan Si Jahat, "Mengagumkan, mengagumkan! Kamu seharusnya mengatakan bahwa kelancaran berbicaramu adalah perwujudan dari kekuatan batin."
Ketika Manjusri menunjukkan kekuatan batinya dan Papiyan Si Jahat membacakan dharani itu, tiga puluh dua ribu dewa bertekad untuk mencapai pencerahan sempurna....
Ketika Sang Buddha selesai mengajarkan sutra ini, dewa Suguna, Sesepuh Ananda, dan semua manusia, para dewa. naga, gandharva, asura, dan sebagainya sangat bergembira mendengar apa yang diajarkan Sang Buddha.
Sutra ini merupakan sutra ke-35 dari Maharatnakuta Sutra (Taisho 310, pp. 566-571; diterjemahkan ke Mandarin oleh Bodhiruci)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar