Brahma Jala Sutra
Di terjemahkan oleh Bapak Sumatijnana
Sang Buddha Vairochana
Pada saat itu, Sang Buddha Vairochana mulai mengulas Cittabhumi secara umum demi kebajikan bagi pesamuhan agung. Apa yang beliau sampaikan hanya mengenai bagian tak terbatas, ujung kecil selembar rambut, dari ajarannya yang tiada terlukiskan, yang tak terhitung sebanyak butiran pasir disungai Gangga.
Beliau mengakhirinya: “Cittabhumi telah dijelaskan, telah dibabarkan dan akan dibabarkan oleh semua Buddha masa lampau, masa sekarang dan masa yang akan datang. Ia juga merupakan pintu dharma dimana semua Bodhisattva dari masa lampau, masa sekarang dan masa yang akan datang telah mempelajarinya, sedang mempelajarinya dan akan mempelajarinya.”
“Aku telah membangkitkan Cittabhumi Pintu Dharma ini selama beratus-ratus kalpa. Namaku Vairochana. Aku memohon pada semua Buddha agar meneruskan ucapanku kepada semua makhluk, dengan demikian menjadi pembuka jalan pembangkitan ini bagi semua makhluk.”
Pada saat itu, dari singgana singanya di Dunia Harta Teratai, Sang Buddha Vairochana memancarkan cahaya terang. Terdengar suatu suara dari antara cahaya mengungkapkan bahwa para Buddha duduk diatas bunga teratai beribu-ribu petal, “Engkau harus melaksanakan serta menjunjung tinggi Cittabhumi Pintu Dharma dan menurunkannya kepada Sang Buddha Sakyamuni yang tak terkira banyaknya, satu persatu, demikian pula terhadap semua makhluk. Setiap orang harus menjunjung, membaca, melafalkan dan dengan penuh perhatian menempatkan ajaran tersebut dalam praktek.”
Setelah menerima Cittabhumi Pintu Dharma, Sang Buddha duduk diatas beribu-ribu bunga teratai bersama dengan Sang Buddha Sakyamuni yang tak terkira banyaknya yang kesemuanya keluar dari singgasana singanya, tubuhnya memancarkan tak terkira cahaya. Dalam setiap cahaya tersebut muncul tek terbilang para Buddha yang secara bergantian membuat persembahan bunga surgawi berwarna hijau, kuning, merah dan putih kepada Sang Buddha Vairochana. Mereka lalu dengan kidmat beranjak pergi.
Sang Buddha lalu menghilang dari Alam Harta Teratai, memasuki Samadhi Sari Hakikat Kehampaan Angkasa Bunga Cemerlang dan kembali ketempatnya yang sebelumnya dibawah pohon Bodhi didunia ini di Jambudvipa. Mereka selanjutnya bangkit dari samadhinya, lalu duduk diatas Vajrasananya di Jambudvipa dan surga Caturlokhapala, membabarkan Dharma “Sepuluh Samudera Dunia.”
Setelah itu, ia menuju ke istana Raja Sakya dan membabarkan “Sepuluh Kediaman,” menuju ke Surga Suyama dan mengajarkan “Sepuluh Praktek,” kembali berangkat ke Surga Keempat dan mengajarkan “Sepuluh Pelimpahan,” kembali berangkat ke Surga Kehagiaan Perubahan dan mengajarkan “Sepuluh Dhyana Samadhi,” kembali menuju ke Surga Kenyamanan Dari Penampakan Yang Lain dan mengajarkan “ Sepuluh Dasar,” kembali pergi ke Surga Dhyana Pertama dan mengajarkan “Sepuluh Tingkatan Vajra,” berangkat lagi menuju Surga Dhyana Kedua dan mengajarkan “Sepuluh Kesabaran,” berangkat lagi menuju ke Surga Dhyana Ketiga dan mengajarkan “Sepuluh Sumpah.” Dan akhirnya dialam Surga Dhyana Keempat, di istana Brahmasahampati, beliau mengajarkan bab “Cittabhumi Pintu Dharma,” yang telah dibabarkan oleh Sang Buddha Vairochana pada kalpa yang lampau di alam Harta Teratai.
Seluruh penjelmaan Sang Buddha Sakyamuni lainnya yang tak terhitung melakukan hal yang sama juga didunianya masing-masing sebagaimana pada bab “Bhadrakalpa” yang telah dijelaskan.
Buddha Sakyamuni
Pada saat itu, Sang Buddha Sakyamuni, setelah kemunculannya yang pertama dialam Harta Teratai, menuju kearah timur dan muncul di istana raja surga untuk mengajarkan “Sutra Mengubah Mara.” Beliau selanjutnya turun ke Jambudvipa untuk lahir di Kapilavastu, namanya menjadi Siddharta dan ayahnya bernama Suddhodana. Ibunya adalah Dewi Maya. Beliau mencapai Pencerahan pada usia tiga puluh tahun, setelah selama tujuh tahun pencarian, dengan nama Sang Buddha Sakyamuni.
Sang Buddha berbicara dalam sepuluh pertemuan dari Vajrasana di Buddhagaya ke istana Brahmasahampati. Pada saat itu, beliau merenungkan jala-jala menakjubkan yang tergantung di istana Brahmasahampati dan kemudian membabarkan Brahmajala Sutra kepada pesamuhan agung. Beliau berkata:
“Tak terhingga dunia di jagad raya laksana lubang-lubang jala. Masing-masing dunia berbeda-beda, ragam jenisnya tak terhingga. Demikian pula halnya Pintu Dharma yang diajarkan oleh para Buddha.
“Aku telah datang kedunia ini sebanyak delapan ribu kali. Berpijak pada Sahalokha ini, duduk diatas Vajrasana di Buddhagaya, sepanjang jalan hingga ke istana Brahmasahampati, aku telah membabarkan Cittabhumi Pintu Dharma secara umum demi kebajikan bagi semua.
“Selanjutnya, aku turun dari istana Brahmasahampati ke Jambudvipa, dunia manusia. Aku telah membabarkan Ajaran Permata Intan Yang Menerangi dari bawah pohon Bodhi demi kebajikan semua makhluk dibumi, betapapun bodoh atau dungunya mereka. Ajaran itu yang biasannya di lafalkan oleh Buddha Vairochana saat ia untuk pertama kalinya membangkitkan Bodhicitta dalam tingkatan biasa. Tepatnya ia merupakan asal usul dari semua Buddha dan semua Bodhisattva sekaligus juga merupakan benih Sifat Kebuddhaan (Tathagata Garbha).
“Semua makhluk memiliki Sifat Kebuddhaan (Tathagata Garbha) yang demikian. Semua yang berkesadaran, berwujut dan memiliki pikiran tercakup oleh ajaran tentang Sifat Kebuddhaan (Tathagata Garbha). Makhluk hidup memiliki penyebab yang benar bagi Sifat Kebuddhaan (Tathagata Garbha), karenanya dapat dipastikan bahwa mereka akan dapat mencapai Dharmakaya.
Karenanya, ajaran sepuluh Pratimoksha (Bodhisattva) sampai pada makhluk hidup didunia ini. Ajaran tersebut merupakan Dharma Sejati. Ia di terima dan dipegang teguh dengan penuh hormat oleh semua makhluk dari ketiga masa, masa lampau, masa sekarang dan masa yang akan datang. Sekali lagi, aku akan membabarkannya kepada pesamuhan agung, bab tentang ‘Harta Ajaran Yang Tak Akan AdaHabisnya’. Yang merupakan ajaran bagi semua makhluk hidup, sumber bagi hakikat diri.
Sekarang, Aku, Buddha Vairochana
Duduk diatas singgasana padma
Diatas beribu-ribu bunga mengelilingiku
Adalah Buddha Sakyamuni.
Masing-masing bunga menopang seratus juta dunia;
Dalam setiap dunia seorang Buddha Sakyamuni muncul.
Semuanya duduk dibawah pohon Bodhi,
Masing-masing secara berganti-gantian mencapai Kebuddhaan.
Semua Buddha yang tak terbilang tersebut
Memiliki Buddha Vairochana sebagai tubuh asalnya.
Buddha Sakyamuni yang tak terhingga tersebut
Seluruhnya membawa pengikut, yang sebanyak butir debu.
Mereka semua menuju ke singgasana terataiku
Untuk mendengarkan ajaran Buddha.
Aku sekarang membabarkan Dharma, amrtha yang langka ini.
Selanjutnya, tak terhitung para Buddha kembali ke alamnya masing-masing
Di bawah pohon Bodhi, mengungkapkan ajaran utama serta ajaran tambahan
Dari Buddha Vairochana, Buddha Asal Mula.
Ajaran tersebut laksana cahaya matahari dan bulan,
Bagaikan kemilau kalung permata,
Para Bodhisattva yang sebanyak butiran debu
Menjunjungnya dan mencapai Kebuddhaan.
Ajaran tersebut di ucapkan oleh Buddha Vairochana,
Ajaran tersebut juga saya ucapkan.
Kalian calon Bodhisattva
Harus dengan penuh hormat menerima dan menjaganya.
Dan jika engkau telah menjalankannya,
Turunkan dan ajarkan ia kepada makhluk hidup.
Sekarang dengarkan dengan penuh perhatian saat aku mengucapkannya
Pratimoksha Bodhisattva, sumber seluruh ajaran Buddha Dharma.
Kalian semua didalam pesamuhan agung harus meyakini dengan teguh
Bahwa kalian semua adalah para Buddha di masa yang akan datang,
Sedangkan diriku adalah Buddha yang telah sempurna.
Jika kalian memiliki keyakinan yang demikian sepanjang waktu,
Ajaran sila ini karenanya telah terpenuhi.
Semua makhluk dengan tekat bulat
Harus menerima dan memegang teguh ajaran Buddha,
Makhluk hidup dalam menerimanya
Bergabung pada tingkatan para Buddha.
Mereka pada hakekatnya sama dengan para Buddha,
Mereka adalah putera sesungguhnya dari para Buddha.
Untuk itu, pesamuhan agung,
Dengarkanlah penuh hormat
Saat aku membabarkan Sila Bodhisattva.
Sila Bodhisattva
Pada saat itu, ketika Sang Buddha Sakyamuni untuk pertama kalinya mencapai Pencerahan Sempurna dibawah pohon Bodhi, beliau membabarkan Bodhisattva Sila. Sang Buddha mengajar dengan penuh belaskasih kepada orang tuanya, para Sthavira dan Triratna. Dengan penuh belaskasih serta penghormatan, yang beliau sampaikan, adalah jalan Utama Menuju Pencerahan. Penuh belaskasih adalah nama ajarannya, dan bermakna penolakan dan pengakhiran.
Sang Buddha kemudian memancarkan tak terhingga cahaya dari mulutnya. Setelah itu, semua yang hadir dalam pesamuhan agung tersebut, yang terdiri dari tiada terbilang para Bodhisattva, para dewa dari delapan belas Brahmaloka, para dewa dari keenam alam surga keinginan dan para raja dari enam belas kerajaan agung seluruhnya beranjali, mendengarkan Sang Buddha menyampaikan ajaran Mahayana dengan penuh perhatian.
Sang Buddha kemudian berkata kepada para Bodhisattva: “Dua kali setiap bulan aku melafalkan sila yang di selami oleh semua Buddha. Semua Bodhisattva, dari mereka yang baru membangkitkan Bodhicitta hingga Bodhisattva dari kediaman kesepuluh, sepuluh praktek, sepuluh pelimpahan kebajikan dan bhumi kesepuluh juga melafalkannya. Karenanya, Sila ini menyala dari mulutku. Ini tidak timbul tanpa adanya penyebab. Cahaya ini bukan biru, bukan kuning, merah, putih, bukan pula hitam. Ia bukan wujut, bukan pikiran. Ia bukanlah keberadaan juga bukan bukan keberadaan, bukan sebab bukan pula akibat. Cahaya Sila ini sesungguhnya merupakan asal mula dari semua Buddha dan semua yang hadir dalam pesamuhan agung ini. Untuk itu engkau wahai para siswa Buddha, harus menerima dan menyelami, membaca, melafalkan dan mempelajari ajaran ini dengan penuh perhatian.
Para siswa Buddha, dengarlah dengan penuh perhatian! Barang siapa dapat memahami dan menerima ucapan yang diturunkan oleh seorang Guru Dharma boleh menerima Sila Bodhisattva dan akan dipanggil sebagai yang unggul dalam kesucian. Ini sungguh benar, apakah ia seorang raja, seorang pangeran, seorang pajabat, seorang bhiksu, bhiksuni atau seorang dewa dari kedelapan belas Brahmaloka, seorang dewa dari keenam alam surga keinginan, atau seorang manusia, seorang kasim, seorang jangak, seorang pelacur, seorang budak, atau salah seorang dari kedelapan macam dewa, seorang makhluk halus vajra, seekor binatang, atau bahkan makhluk yang dapat bersalin rupa.
Sepuluh Sila Utama Bodhisattva
Sang Buddha berkata kepada para siswanya: “Terdapat sepuluh sumpah utama Bodhisattva. Jika seseorang menerima Sila tetapi lalai melafalkannya, ia bukanlah seorang Bodhisattva, padanya tidak ada benih Kebuddhaan. Diriku juga melafalkan Sila itu.”
“Semua Bodhisattva telah mempelajarinya dimasa lampau, akan mempelajarinya dimasa nanti dan sedang mempelajarinya saat ini. Aku telah menjelaskan ciri utama Sila Bodhisattva. Engkau harus mempelajari serta mengkajinya dengan sepenuh hatimu.”
Sang Buddha melanjutkan: Seorang siswa Buddha seharusnya tidak melakukan pembunuhan, mendorong orang lain untuk membunuh, membunuh melalui kepandaian, memuji pembunuhan, bergembira karena menyaksikan pembunuhan, atau membunuh menggunakan mantra jahat atau guna-guna. Ia seharusnya tidak menciptakan sebab, kondisi, cara, atau membuat karma pembunuhan, dan seharusnya tidak memiliki niat membunuh makhluk hidup apapun. Sebagai siswa Buddha, ia dianjurkan untuk memelihara pikiran belaskasih serta rasa kasih sayang yang dalam, senantiasa menimbang-nimbang cara yang berguna untuk menyelamatkan dan melindungi semua makhluk. Jika ternyata, ia lalai untuk menghentikan dirinya sendiri sehingga membunuh makhluk hidup tanpa belas kasih, ia telah melakukan sebuah pelanggaran parajika.
Seorang sisiwa Buddha seharusnya tidak mencuri atau mendorong orang lain untuk mencuri, mencuri melalui cara-cara kepandaian, mencuri dengan mengucapkan mantra-mantra atau mantra jahat. Ia seharusnya tidak menciptakan sebab, kondisi, sarana ataupun karma mencuri. Baik benda berharga maupun harta milik, bahkan sekalipun milik makhluk halus, ataupun milik gandharva, pencuri maupun perampok, meski ia hanya sebesar ujung jarum atau selembar daun, yang mungkin dapat dicuri. Sebagai siswa Buddha, ia dianjurkan untuk memiliki pikiran belaskasih, kasih sayang, serta rasa kasihan yang mendalam, senantiasa membantu orang lain mengumpulkan kebajikan serta mencapai kebahagiaan. Jika ternyata, ia mencuri harta milik orang lain, ia melakukan sebuah pelanggaran parajika.
Seorang siswa Buddha seharusnya tidak terlibat dalam perbuatan yang tidak terpuji atau mendorong orang lain untuk melakukannya. (Sebagai seorang bhiksu) ia tidak diperbolehkan melakukan hubungan seksual dengan wanita apapun, baik ia manusia, binatang, bidadari ataupun makhluk halus atau menciptakan sebab, kondisi, cara-cara, atau karma perbuatan tidak terpuji yang demikian. Singkatnya, ia seharusnya tidak terlibat dalam hubungan seksual yang tidak terpuji dengan siapapun. Seorang siswa Buddha dianjurkan agar memiliki perasaan kasih sayang yang mendalam, menyelamatkan semua makhluk dan mengarahkannya kedalam Dharma kesucian dan pembebasan. Jika sebaliknya, ia kurang belas kasih dan mendorong orang lain terlibat dalam hubungan sek yang tak terpuji, termasuk didalamnya dengan binatang atau bahkan dengan ibunya, puterinya ataupun keluarga dekatnya, ia melakukan sebuah pelanggaran parajika.
Seorang siswa Buddha seharusnya tidak menggunakan ucapan dan kata-kata yang tidak benar pada dirinya, atau mendorong orang lain untuk berbohong atau berbohong dengan tipu daya. Ia seharusnya tidak melibatkan diri didalam penyebab, kondisi, cara-cara ataupun karma kebohongan, mengucapkan apa yang dilihatnya dan apa yang tidak dilihatnya atau tidak sama sekali, atau secara tidak langsung berbohong secara fisik maupun mental. Sebagai seorang siswa Buddha, ia dianjurkan agar senantiasa menjaga ucapan benar serta pandangan benar, dan membimbing semua makhluk lainya agar juga memeliharanya. Jika ternyata, ia menyebabkan ucapan yang tidak benar, pandangan salah ataupun karma buruk pada orang lain, ia melakukan sebuah pelanggaran parajika.
Seorang siswa Buddha seharusnya tidak memperdagangkan minuman memabukan atau mendorong orang lain untuk melakukannya. Ia seharusnya tidak menciptakan sebab, kondisi, cara-cara atau karma menjual minuman memabukan apapun, karena minuman memabukan adalah menyebabkan serta membuka peluang terjadinya segala bentuk pelanggaran. Sebagai seorang siswa Buddha, ia dianjurkan agar membantu semua makhluk mencapai kebijaksanaan suci. Jika sebaliknya, ia menyebabkan kebalikkannya, pikiran terjungkir balik, ia melakukan pelanggaran parajika.
Seorang siswa Buddha seharusnya tidak boleh menyebar luaskan kesalahan atau pelanggaran sangha Bodhisattva atau Bodhisattva perumah tangga, atau pelanggaran bhiksu dan bhiksuni biasa, ataupun mendorong orang lain untuk melakukannya. Ia seharusnya tidak menciptakan sebab, kondisi, cara-cara ataupun karma dari membicarakan pelanggaran sangha. Sebagai siswa Buddha, kapanpun ia mendengar orang jahat, orang luar ataupun penganut Dua Jalan berbicara yang bertentangan dengan Dharma atau bertentangan dengan ajaran didalam penganut ajarang Buddha, ia harus meleruskannya dengan pikiran cintakasih dan membimbingnya untuk mengembangkan keyakinan yang benar didalam Mahayana. Jika sebaliknya, ia membicarakan kesalahan dan pelanggaran yang terjadi dalam sangha, ia melakukan pelanggaran parajika.
Seorang siswa Buddha seharusnya tidak memuji diri sendiri dan menghina orang lain, atau mendorong orang lain melakukannya. Ia seharusnya tidak membuat sebab, kondisi, cara-cara ataupun karma memuji diri sendiri dan merendahkan orang lain. Sebagai siswa Buddha, ia seharusnya bersedia berdiri dipihak semua makhluk dan menanggung penghinaan serta hujatan, menerima penghinaan dan mempersilahkan makhluk hidup memiliki segala keagungan. Jika sebaliknya, ia memamerkan kebajikannya sendiri atau menyembunyikan kebajikan-kebajikan orang lain, dengan begitu membuat mereka menderita dalam cacian, ia telah melakukan sebuah pelanggaran parajika.
Seorang siswa Buddha seharusnya tidak kikir atau menganjurkan orang lain untuk menjadi kikir. Ia seharusnya tidak membuat sebab, kondisi, cara-cara atau karma kekikiran. Sebagai seorang Bodhisattva, dimanapun orang yang terabaikan datang meminta bantuan, ia harus memberi orang tersebut apa yang mereka perlukan. Jika kebalikannya, karena marah atau kesal, ia menolak memberi bantuan apapun, menolak untuk menolong bahkan sepeserpun, sebuah jarumpun, selembar daun sekalipun, atau bahkan sebait atau satu slokha atau sebuah kalimat Dharma, sebaliknya malah menghardik dan memaki orang tersebut, ia melakukan sebuah pelanggaran parajika.
Seorang siswa Buddha seharusnya tidak memiliki kemarahan atau menganjurkan orang lain untuk marah. Ia seharusnya tidak menciptakan sebab, kondisi, cara-cara ataupun karma kemarahan. Sebagai siswa Buddha, ia dianjurkan agar berbelas kasih serta berkasih sayang, menolong semua makhluk mengembangkan akar kebajikan yang bebas dari pertengkaran. Jika sebaliknya, ia menghina dan memaki makhluk hidup, atau bahkan mengubah makhluk hidup, dengan kata-kata yang kasar, memukulnya dengan tinju atau kaki, atau menyerangnya dengan pisau atau pemukul, atau meluapkan dendam meskipun ketika korbannya mengakui kesalahannya dan meminta maaf dengan sangat dan memelas, suara leraian, seorang siswa melakukan pelanggaran parajika.
Seorang siswa Buddha seharusnya tidak mencela Sang Triratna, atau mendorong orang lain untuk melakukannya. Ia seharusnya tidak menciptakan sebab, kondisi, cara-cara ataupun karma celaan. Jika seorang siswa mendengar meskipun satu kalimat celaan terhadap Sang Buddha dari orang luar atau makhluk jahat, ia merasakan kepedihan seolah-olah seperti bila tiga ratus tombak menghancurkan jantungnya. Lantas bagaimana mungkin ia sendiri mencela Sang Triratna? Sehingga, jika seorang siswa karena kurangnya keyakinan dan kasih sayang terhadap Sang Triratna, bahkan membantu orang jahat atau mereka yang menganut pandangan salah mencela Sang Triratna, ia melakukan sebuah pelanggaran parajika.
Empat Puluh Delapan Sila Tambahan
Seorang siswa Buddha yang berkarma baik menjadi seorang maharaja, seorang raja Cakrawarti, atau pejabat tinggi harus pertama-tama mengangkat Sila Bodhisattva. Ia selanjutnya akan berada dibawah perlindungan seluruh dewa-dewa pelindung serta makhluk-makhluk halus, para Buddha akan merasa gembira. Sekali ia telah menerima Sila, seorang siswa harus mengembangkan suatu pikiran penuh belaskasih dan penghormatan. Dimanapun ia bertemu dengan seorang sesepuh, seorang bhiksu, atau seorang pengikut yang mengembangkan pandangan yang sama dan kegiatan yang sama, ia harus bangkit dan menyambutnya dengan sikap hormat. Lalu ia dengan penuh hormat membuat persembahan kepada bhiksu tamu, sesuai Dharma. Ia seharusnya bersedia memperkenalkan dirinya, keluarganya, begitu pula kerajaannya, kota-kota, permata dan harta benda lainnya. Jika sebaliknya, ia bahkan bersikap mencela dan sombong, tidak mau tahu atau marah, tidak mau berdiri dan menyambut bhiksu tamu dan membuat hidangan kepadanya dengan penuh hormat, sesuai Dharma, ia melakukan sebuah pelanggalan Sila tambahan.
Seorang siswa Buddha seharusnya tidak menginginkan mengkonsumsi minuman keras, dikarenakan bahwa ia merupakan sumber berbagai pelanggaran. Jika ia telah terlanjur memberikan segelas minuman keras kepada orang lain, keterlibatan tersebut tak akan habis dijalani dalam lima ratus kali kelahiran. Bagaimana lalu seandainya ia meminum sendiri. Singkatnya, seorang Bodhisattva seharusnya tidak mandorong siapapun atau makhluk apapun untuk meminum minuman keras, apa lagi meminumnya sendiri. Seorang siswa seharusnya tidak meminum minuman keras apapun. Jika sebaliknya, ia tetap melakukannya, mendorong orang lain melakukannya atau menyuruh orang lain melakukannya, ia melakukan pelanggaran tambahan.
Seorang siswa Buddha seharusnya tidak dengan sengaja memakan daging. Ia seharusnya tidak makan daging dari makhluk hidup apapun. Pemakan daging kehilangan benih Mahakaruna, memotong benih Sifat Kebuddhaan (Tathagata Garbha), serta menyebabkan (binatang dan para dewa) menghindarinya. Mereka yang melakukannya melakukan tak terbilang pelanggaran. Karena itu, seorang Bodhisattva seharusnya tidak makan daging makhluk hidup apapun. Bila sebaliknya, ia dengan sengaja memakan daging, ia melakukan pelanggaran yang tambahan.
Seorang siswa Buddha seharusnya tidak memakan lima macam obat pedas; bawang putih, lobak, bawang perai, bawang bombai dan asafetida. Meskipun ini mereka tambahkan sebagai bumbu pada makanan lain. Demikianlah, jika ia dengan sengaja berbuat demikian, ia telah melakukan pelanggaran tambahan.
Jika seorang siswa Buddha harus menyaksikan siapapun yang melanggar Panca Sila, Astha Sila, Dasa Sila, serta pantangan yang lain atau melakukan salah satu dari tujuh macam dosa atau pelanggaran apapun yang membawa pada kedelapan macam kerugian, pelanggaran apapun atas sila mana saja, ia harus menasehati orang yang melanggar tersebut agar mengangkat kembali serta memperbaharuinya. Karena apabila, jika seorang Bodhisattva tidak melakukan hal demikian dan tetap melanjutkan hidup bersama didalam sangha, bersama dengan orang yang melakukan pelanggaran, saling berbagi atas persembahan para perumah tangga, saling menghadiri dalam upacara Uposatha dan melafalkan sila, sementara kelemahan telah menyebabkan orang tersebut melakukan pelanggaran, bergabung dengannya untuk mengulanginya kembali, seorang siswa melakukan pelanggaran sila tambahan.
Jika seorang Guru Sesepuh, seorang bhiksu Mahayana atau pengikut yang sama pandangan serta prakteknya, yang datang dari tempat yang jauh ke Vihara, ke rumah, ke kota atau desa, dari seorang siswa Buddha, seorang siswa Buddha harus menyambutnya dengan penuh penghormatan kepadanya dan mengantarkannya ketika pergi. Ia harus menunjang segala keperluannya sepanjang waktu, meskipun dengan melakukan hal tersebut membutuhkan biaya hingga sebanyak tiga tail emas! Bahkan, seorang siswa Buddha harus dengan penuh hormat meminta kepada Guru yang menjadi tamunya agar mengajarkan Dharma tiga kali sehari dengan bersujud kepadanya tanpa perasaan enggan serta bimbang sedikitpun. Ia harus bersedia berkorban diri demi Dharma dan tidak merasa enggan untuk memintanya. Apabila ia tidak berbuat dengan cara demikian, ia melakukan sebuah pelanggaran sila tambahan.
Seorang siswa Bodhisattva yang baru memasuki sangha, harus membawa kitab sutra yang sesuai, atau peraturanan sila ketempat manapun dimana sutra demikian, upadesha, atau aturan sila diuraikan, untuk mendengarkan, mempelajari, serta mendapatkan Dharma. Ia harus pergi kemana saja, apakah itu disuatu rumah, dibawah sebuah pohon, didalam Vihara, dihutan atau di gunung, atau dimana saja. Jika ia mengabaikannya, ia melakukan sebuah pelanggaran sila tambahan.
Jika seorang siswa Buddha mengingkari ajaran lahiriah sutra-sutra Mahayana dan aturan sila-sila, menyatakan bahwa ia (Mahayana) bukanlah ajaran Sang Buddha yang murni, dan sebaliknya, ia mengikuti serta mendalami ‘kedua jalan’ (Śrāvaka dan Pratyeka) dan juga ajaran para guru lokyata (duniawi) yang membingungkan, ia melakukan pelanggaran sila tambahan.
Jika seorang siswa Buddha kebetulan melihat siapapun sedang sakit, ia harus dengan sepenuh hati mencukupi kebutuhan orang tersebut sebagaimana yang ia lakukan terhadap seorang Buddha. Dari kedelapan macam ladang berkah, mengurus orang sakit adalah yang terpenting. Seorang siswa Buddha harus menjaga ayahnya, ibunya, guru Dharma atau siswanya, tanpa menghiraukan apakah nantinya akan cacat atau menderita akibat berbagai macam penyakit. Jika sebaliknya, ia malah marah dan menolak serta tidak bersedia melakukannya, atau menolak untuk menyelamatkan orang sakit atau orang cacat di Vihara, kota, desa, hutan dan gunung, atau disepanjang jalan, ia melakukan pelanggaran sila tambahan.
Seorang siswa Buddha seharusnya tidak menimbun senjata seperti belati, tombak, busur, anak panah, pisau, kapak atau senjata apapun lainya, tidak dibenarkan menyimpan jaring, perangkap atau apapun barang-barang yang dipakai dalam menghancurkan kehidupan. Sebagai seorang siswa Buddha, ia seharusnya bahkan tidak boleh menuntut balas atas kematian orang tuanya, apa lagi membiarkan dirinya membunuh makhluk hidup. Ia tidak diperbolehkan menimbun senjata apapun atau barang berbahaya apapun yang dapat digunakan untuk membunuh makhluk hidup. Apabila ia dengan sengaja melakukannya, ia melakukan pelanggaran sila tambahan. Sepuluh sila tambahan bagian pertama telah diuraikan. Siswa Buddha harus mempelajari serta dengan penuh hormat harus menyelaminya. Ini dijelaskan secara terperinci dalam bab ke enam mengikuti sila tersebut.
12. Menjalankan pekerjaan yang tidak dibenarkan
Seorang siswa Buddha seharusnya tidak dengan sengaja memperdagangkan budak atau menjual siapapun sebagai pelayan, ia tidak boleh berdagang binatang-binatang ternak, peti mati atau kayu untuk peti mati. Ia tidak boleh menjalankan jual beli atas barang-barang tersebut, baik sendiri apalagi menganjurkan orang lain untuk melakukannya. Bilamana tidak, ia melakukan pelanggaran sila tambahan.
Seorang siswa Buddha seharusnya tidak berbuat, tanpa sebab serta dengan kehendak jahat, menipu orang penuh kebajikan, seperti Guru Sthavira, bhiksu bhiksuni, raja, pangeran, atau orang-orang terhormat lainya, dengan mengatakan bahwa mereka telah melakukan ketujuh macam dosa atau melanggar sepuluh sila utama Bodhisattva. Ia seharusnya berbelas kasih dan berkasih sayang, memperlakukan orang-orang penuh kebajikan seolah mereka sebagai ayah, ibu, saudara kandung ataupun keluarga dekat lainya. Bila sebaliknya, ia menipu dan menyakiti mereka, ia melakukan pelanggaran sila tambahan.
Seorang siswa Buddha seharusnya tidak berbuat, kerena keinginan jahat, menyalakan api liar untuk membersihkan hutan dan membakar tumbuh-tumbuhan digunung serta dingarai, pada bulan keempat hingga bulan kesembilan candra sengkala. Api tersebut (menyakiti binatang pada musim-musim tersebut dan dapat merembet) kepemukiman manusia, kota dan desa, caitya dan Vihara, ladang, taman dan juga kediaman serta harta milik makhluk-makhluk halus yang tidak tampak. Ia seharusnya tidak berniat menyalakan api ditempat manapun yang terdapat kehidupan. Jika dengan kesengajaan melakukannya, ia melakukan pelanggaran sila tambahan.
Seorang siswa Buddha seharusnya mengajar satu orang serta semua makhluk, dari siswa-siswa yang menjadi pengikut, sanak keluarga serta teman dharma, kepada para thirtika dan makhluk-makhluk yang jahat, bagaimana cara menerima serta mendalami Mahayana sutra dan aturan sila. Ia harus mengajarkan prinsip-prinsip Mahayana kepada mereka dan membantu mereka membangkitkan Bodhicitta, begitu pula sepuluh kediaman, sepuluh praktek, sepuluh pelimpahan, menguraikan anjuran serta fungsi dari setiap tahap ketiga puluh tingkat batin. Jika sebaliknya, seorang siswa, dengan kemauan jahat, pandangan penuh kebencian, mempersiapkan pengajaran pada mereka sutra serta peraturan sila dari dua jalan (Śrāvaka dan Pratyeka), begitu pula penjelasan membingungkan dari para thirtika, dengan begitu ia melakukan pelanggaran sila tambahan.
Seorang Bodhisattva Guru Dharma harus terlebih dahulu, dengan pikiran kebaikan, mempelajari aturan bertingkah laku, begitu pula sutra serta aturan sila-sila dari tradisi Mahayana, memahami maknanya dengan seksama. Selanjutnya, kapanpun sramanera datang dari tempat jauh manapun mencari ajaran, ia harus menguraikan, sesuai Dharma, seluruh praktek penolakan duniawi Bodhisattva, seperti membakar tubuh sendiri, tangan, jari (sebagai tindakan mulia dalam mencari Pencerahan Tertinggi). Jika seorang sramanera tidak dipersiapkan untuk mengikuti praktek tersebut sebagai bentuk persembahan kepada Buddha, ia bukanlah seorang bhiksu Bodhisattva. Bahkan, seorang bhiksu Bodhisattva seharusnya bersedia mengorbankan tubuhnya serta anggota tubuhnya untuk binatang hutan yang kelaparan serta makhluk preta ( sebagai perbuatan kasih sayang termulia dalam menyelamatkan makhluk hidup.) Setelah penjelasan tersebut, seorang Bodhisattva Guru Dharma harus mengajar para sramanera dengan jalan memerintahkan, agar membangunkan batinnya. Jika sebaliknya, demi untuk perolehan pribadi, ia menolak untuk mengajar atau mengajar tetapi dengan sikap yang kacau, mengutip kalimat-kalimat menyimpang dari yang seharusnya serta konteknya, atau mengajar namun dengan cara yang merendahkan Sang Triratna, ia melakukan pelanggaran sila tambahan.
Seorang siswa Buddha seharusnya ridak, demi untuk mendapatkan makanan, minuman, uang, harta benda atau kemasyuran, mendekati dan bersahabat dengan raja, pangeran, atau para pejabat tinggi dan (dalam akrabnya hubungan tersebut), memperoleh sejumlah uang, barang-barang, atau keuntungan lainnya. Ia tidak boleh menganjurkan orang lain untuk melakukannya. Perbuatan tersebut disebut tidak patut, menimbulkan akibat pengharapan dan tiada belaskasih serta perasaan kasihan. Yang demikian seorang siswa melakukan pelanggaran sila tambahan.
Seorang siswa Buddha seharusnya mempelajari dua belas bagian Dharma dan melafalkan sila Bodhisattva secara berkala. Ia harus dengan keras mengkaji sila-sila tersebut di keenam waktu siang dan malam, memahami sepenuhnya makna didalamnya serta ketentuannya termasuk juga hakikat Sifat Kebuddhaan (Tathagata Garbha)nya. Bila sebaliknya, seorang siswa Buddha lalai untuk memahami meski hanya sebuah kalimat atau sebuah slokha aturan sila atau penyebab dan kondisi yang berkait dengan sila, tetapi berpura-pura memahaminya, ia sesungguhnya telah menipu dirinya sendiri dan juga orang lain. Seorang siswa yang sama sekali tidak mengerti Dharma, meskipun bertindak sebagai seorang guru yang menurunkan ajaran, melakukan pelanggaran sila tambahan.
Seorang siswa Buddha seharusnya tidak berbuat, dengan kedengkian melakukan omong kosong atau menyebarkan isu atau kebohongan, membuat perselisihan dan penghinaan terhadap orang-orang baik. (Sebagai contoh) menghina seorang bhiksu yang menyelami sila Bodhisattva, karena ia (melakukan persembahan kepada Buddha dengan) mengangkat dupa menyala diatas kepalanya. Seorang siswa Buddha yang berbuat demikian melakukan suatu pelanggaran sila tambahan.
Seorang siswa Buddha seharusnya mempunyai batin belaskasih dan mengembangkan praktek membebaskan makhluk hidup. Ia harus merenungkan demikian: sepanjang kalpa, seluruh makhluk hidup pria telah menjadi ayah, seluruh makhluk hidup wanita telah menjadi ibuku. Aku lahir dari mereka. Jika sekarang aku memotongnya, aku sama halnya dengan memotong orang tuaku sendiri, begitu pula dengan memakan daging yang sebenarnya dagingku sendiri. Ini dikarenakan bahwa semua unsur-unsur seperti tanah, air, api dan angin, empat unsur dari semua yang hidup, telah sebelumnya menjadi bagian tubuhku, bagian dari unsur-unsurku. Karenanya, untuk seterusnya aku harus senantiasa mengembangkan praktek membebaskan makhluk hidup dan melibatkan orang lain agar juga melakukannya, mengingat bahwa makhluk hidup telah tiada terhitung dilahirkan, berulang ulang, dari hidup ke hidup. Jika seorang Bodhisattva melihat binatang diatas pemotongan hendak dibunuh, ia harus mencari cara untuk menyelamatkan dan melindunginya, menolongnya untuk melarikan diri dari penderitaan dan kematian. Seorang siswa senantiasa mengajarkan sila Bodhisattva untuk menyelamatkan dan melepaskan makhluk hidup. Pada hari dimana ayah, ibu dan sanak keluarga meninggal, ia harus mengundang Guru Dharma untuk menjelaskan sutra dan sila Bodhisattva. Hal ini akan mengembangkan kebajikan serta jasa, dan membantu yang telah meninggal apakah untuk mencapai kelahiran di Bumi Suci serta berjumpa dengan Buddha atau untuk memastikan kelahiran dialam manusia ataupun dialam surga. Jika sebaliknya, seorang siswa lalai melakukannya, ia melakukan pelanggaran sila tambahan. Engkau harus mempelajari dan dengan penuh hormat mengkaji kesepuluh sila diatas. Masing-masing darinya dijelaskan secara terperinci didalam bab “Penjelasan Pelanggaran.”
Seorang siswa Buddha harus tidak membalas kemarahan dengan kemarahan, pukulan dengan pukulan. Ia tidak boleh membalas dendam, meskipun jika ayah, ibu, sanak keluarga atau keluarga dekat dibunuh, ia juga tidak boleh melakukannya jika raja yang berkuasa dinegerinya dibunuh. Untuk mengambil kehidupan dari satu makhluk hidup dengan maksud sebagai balasan atas yang lain sesungguhnya bertentangan dengan rasa kasih sayang (dimana kita semua terkait selama berkalpa-kalpa dalam kelahiran dan kelahiran kembali). Bahkan, ia tidak boleh memelihara orang lain sebagai pelayan, apalagi memukuli mereka ataupun menyiksa mereka, menciptakan karma-karma buruk bagi pikiran, ucapan serta tubuh hari kehari, secara khusus merupakan pelanggaran ucapan. Apalagi dia seharusnya tidak melakukan tujuh macam dosa besar. Karenanya, jika seorang bhiksu Bodhisattva karena kurangnya belas kasih, lalu dengan sengaja bermaksut akan melakukan pembalasan, meskipun demi ketidak adilan yang menimpa keluarga dekatnya, ia melakukan sebuah pelanggaran sila tambahan.
Seorang siswa Buddha yang baru beberapa lama meninggalkan rumah dan masih sebagai pemula didalam Dharma tidak boleh bersikap sombong. Ia tidak boleh menolak ajaran sutra dan peraturan sila dari Guru Dharma sesuai dengan kemampuan kepandaiannya sendiri, pelajaran duniawi, kedudukan tinggi, usia tua, keturunan mulia, pengetahuan luas, kebajikan besar, harta dan kekayaan berlimpah dan sebagainya. Meskipun Guru tersebut berasal dari kelahiran rendah, berusia muda, miskin, atau menderita cacat pisik, ia kemungkinan tetap memiliki kebajikan sejati dan pengertian akan sutra serta peraturan sila yang sangat dalam. Calon Bodhisattva tidak boleh menilai-nilai Guru Dharma berdasarkan latar belakang keluarga dan tidak mau menerima ajaran benar Mahayana darinya. Jika ia berbuat demikian, ia melakukan sebuah pelanggaran sila tambahan.
Setelah aku mangkat, jika para siswa berkehendak, dengan pikiran baik, ingin menerima sila Bodhisattva, ia dapat menyatakan sumpah untuk melaksanakannya dihadapan rupang Buddha dan Bodhisattva, melakukan pengulangan dihadapan rupang tersebut selama tujuh hari. Apabila ia kemudian mengalami suatu pengalaman, ia telah menerima sila. Bila tidak, ia harus terus melakukannya selama empat belas hari, dua puluh satu hari, atau bahkan sepanjang tahun, melihat bukti suatu tanda menguntungkan. Setelah melihat tanda tersebut, ia dibenarkan, dihadapan rupang Buddha dan Bodhisattva, secara formal menerima sila. Jika ia belum melihat tanda tersebut, meskipun ia mungkin telah menerima sila dihadapan rupang Buddha, ia sebenarnya belum menerima sila. Namun demikian, menyaksikan tanda-tanda yang menguntungkan tidaklah diperlukan jika seorang siswa menerima sila secara langsung dari seorang Guru Dharma dimana dirinya sendiri sudah menerima sila. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan merupakan bentuk penurunan dari guru ke guru sehingga yang sangat dibutuhkan adalah pikiran yang menginginkan dengan tulus dan penuh hormat dipihak siswa. Jika, didalam jarak kurang lebih tiga ratus lima puluh mil, seorang siswa tidak menemukan seorang Guru yang mampu memberikan sila Bodhisattva, ia dapat menerimanya dihadapan rupang Buddha atau Bodhisattva. Namun demikian ia harus melihat tanda-tanda yang menguntungkan. Jika seorang Guru Dharma, disebabkan oleh pengetahuannya yang mendalam akan sutra dan aturan sila Mahayana, demikian pula hubungan dekatnya dengan raja, pangerang ataupun para pejabat tinggi, menolak memberikan jawaban yang sepantasnya kepada siswa Bodhisattva yang mencari penjelasan sutra serta aturan sila, atau melakukannya namun enggan, dengan kekesalan dan kesombongan, ia melakukan pelanggaran sila tambahan.
Jika seorang siswa Buddha lalai untuk mempelajari sutra maupun aturan sila Mahayana dengan tekun serta mengembangkan pandangan benar, sifat yang benar dan Dharmakaya yang sesungguhnya, yaitu seperti meninggalkan Tujuh Batu Permata sekedar (sebagai batu): buku duniawi dan kedua jalan (Śrāvaka dan Pratyeka) atau kitab penjelasan para thirtika. Melakukannya sama halnya dengan menciptakan penyebab serta kondisi yang menghalangi jalan menuju pencerahan dan mecabut dirinya sendiri dari Sifat Buddha. Itu adalah halangan dalam mengikuti jalan Bodhisattva. Jika seorang siswa terus menerus bertindak demikian, ia melakukan sebuah pelanggaran sila tambahan.
Setelah aku mangkat, jika seorang siswa harus bertindak menjadi kepala Vihara, Guru Dharma sepuh, Guru Sila, Guru Meditasi atau tamu istimewa, ia harus mengembangkan batin belas kasih, dan tempat berdiam yang tenang bagi bermacam-macam (orang) didalam Sangha, dengan mahir mengelola barang-barang kebutuhan Triratna, menggunakannya dengan hemat dan tidak menganggapnya sebagai harta milik pribadi. Jika sebaliknya, ia membuat kerancuan, menciptakan perselisihan serta penyalah gunaan dan juga menghambur-hamburkan harta milik Sangha, ia telah melakukan pelanggaran sila tambahan.
Ketika seorang siswa Buddha telah tingga disuatu Vihara, apabila bhiksu Bodhisattva pengunjung tiba di halaman Vihara, ruang tamu yang didirikan oleh raja, atau ruang kegiatan penyepian musim panas, atau ruang Bhaktisala, seorang siswa harus menyambut bhiksu pengunjung dan mengantarkannya pergi. Ia harus mencukupinya dengan kebutuhan pokok seperti makan, minum, tempat tinggal, dipan, bangku dan semacamnya. Apabila sangha tidak memiliki kebutuhan yang diperlukan, ia harus bersedia untuk menggadaikan dirinya sendiri atau memotong serta menjual dagingnya sendiri. Dimanapun terdapat persembahan makanan dan upacara di kediaman perumah tangga, bhiksu pengunjung harus diberikan bagian persembahan yang layak. Kepala Vihara harus mengutus bhiksu, apakah yang tinggal atau pengunjung, ke kediaman donatur sebagai balasan. Jika hanya para bhiksu yang tinggal yang di ijinkan menerima undangan, bukannya bhiksu tamu, kepala Vihara melakukan pelanggaran yang sangat disesalkan dan bersikap tiada beda dengan binatang. Ia tidak pantas menjadi seorang bhiksu ataupun putera Buddha, telah melanggar sebuah sila tambahan.
Seorang siswa Buddha harus tidak menerima undangan yang bersifat pribadi ataupun menerima persembahan untuk dirinya sendiri. Persembahan yang seperti itu sesungguhnya milik Sangha, yaitu seluruh bhiksu dan bhiksuni dari kesepuluh penjuru. Menerima pemberian yang bersifat pribadi adalah sama artinya dengan mencuri harta milik Sangha di sepuluh penjuru. Hal itu setara dengan mencuri apa yang menjadi milik kedelapan ladang berkah: Sang Buddha, Pertapa, Guru Dharma, Guru Sila, bhiksu dan bhiksuni, ibu, ayah serta orang sakit. Siswa yang demikian melakukan sebuah pelanggaran sila tambahan.
Seorang siswa Buddha, baik ia seorang bhiksu Bodhisattva, Bodhisattva perumah tangga, atau penyumbang lainnya, seharusnya apabila mengundang bhiksu atau bhiksuni untuk mengadakan suatu kegiatan puja, datang ke Vihara dan menyampaikan pada bhiksu imbalan. Bhiksu tersebut kemudian akan berkata kepadanya: “Mengundang anggota sangha sesuai tata cara yang benar sebanding dengan mengundang para Arhat dari sepuluh penjuru. Mengundang secara khusus dengan pilih kasih kepada lima ratus orang Arhat atau bhiksu Bodhisattva tidak akan menyebabkan penimbunan kebajikan melebihi undangan terhadap seorang bhiksu biasa, bila itu tentang imbalannya.” Tak ada landasan ajaran dalam dharma dari Tujuh Buddha bagi undangan yang membeda-bedakan. Melakukannya adalah sama halnya dengan para penganut thirtika, serta bertentangan dengan belaskasih yang mendalam terhadap semua makhluk hidup. Apabila seorang siswa dengan sengaja mengutarakan undangan dengan pilih kasih, ia melakukan sebuah pelanggaran sila tambahan.
Seorang siswa Buddha seharusnya tidak boleh, demi mendapatkan keuntungan atau karena maksut jahat, menjual dengan tipudaya, mengguna-guna pria atau wanita. Ia tidak boleh memasak hanya untuk dirinya sendiri, menggiling serta menumbuk biji-bijian. Ia juga tidak boleh bertindak sebagai seorang peramal yang meramalkan jenis kelamin anak-anak, menebak mimpi dan semacamnya. Ia juga tidak diperbolehkan menjalankan sihir, bekerja sebagai pelatih elang atau anjing buruan, tidak boleh bermata pencaharian membuat beratus-ratus atau beribu-ribu bisa dari ular yang mematikan, serangga, atau dari emas dan perak. Pekerjaan seperti itu tak memiliki belas kasih, kasih sayang, rasa kasihan yang mendalam terhadap makhluk hidup. Untuk itu, jika seorang Bodhisattva berusaha menjalankan jenis pekerjaan yang demikian, ia telah melakukan sebuah pelanggaran sila tambbahan.
Seorang siswa Sang Buddha tidak boleh, dengan maksud jahat, menipu Sang Triratna sambil menunjukan diri sebagai penyembahnya yang saleh, mengajarkan Kebenaran Sunyata sementara perbuatannya dialam keberadaan. Bahkan, ia tidak boleh mengurusi urusan duniawi untuk perumah tangga, bertindak sebagai seorang perantara diantara mereka atau sebagai pencari jodoh, menciptakan karma katerikatan. Bahkan, selama enam hari berpuasa setiap bulannya dan berpuasa tiga bulan setiap tahunnya, seorang siswa harus dengan sangat giat menyelami seluruh sila, khususnya mengenai membunuh, mencuri dan aturan-aturan mengenai pembatal puasa. Bila tidak, seorang siswa melakukan sebuah pelanggaran sila tambahan.
Seorang Bodhisattva harus dengan penuh hormat mempelajari serta menyelami sepuluh sila yang dijalankan. Yang diuraikan secara terperinci dalam bab “Larangan.”
Setelah aku mangkat, pada masa yang buruk yang akan datang, akan terdapat para thirtika, orang jahat, pencuri dan perampok yang mencuri dan memperjual belikan rupang dan lukisan Buddha, Bodhisattva serta (mereka yang penghormatan diberikan seperti halnya) kepada orang tua mereka. Mereka bahkan memperjual belikan sutra dan aturan sila, atau menjual bhiksu, bhiksuni ataupun mereka yang mengikuti jalan Bodhisattva, atau yang telah membangkitkan Bodhicitta, untuk menjadi pembantu atau pelayan para pejabat serta lainya. Seorang siswa Buddha, ketika menyaksikan peristiwa yang sedemikian menyedihkan tersebut, harus mengembangkan batin belaskasih dan mencari jalan untuk menyelamatkan serta melindungi semua manusia dan juga benda berharga, mengumpulkan dana dimanapun ia dapat untuk tujuan ini. Jika seorang Bodhisattva tidak bertindak dengan cara demikian, ia melakukan sebuah pelanggaran sila tambahan.
Seorang siswa Buddha tidak dibenarkan memperdagangkan pisau, tombak, busur, anak panah, atau alat-alat untuk mengambil kehidupan lainya, tidak menyimpan alat ukur ataupun alat penimbang untuk kejahatan. Ia seharusnya tidak menyalah gunakan kedudukannya didalam pemerintahan untuk merampas harta milik orang lain, ia tidak diperbolehkan, dengan rasa dendam didalam hati, menangkap atau memenjarakan orang lain, atau menyabot keberhasilan mereka. Sebagai tambahan, ia tidak boleh memelihara kucing, anjing, rubah, babi serta binatang-binatang lainya. Jika ia berusaha melakukan hal yang demikian, ia melakukan sebuah pelanggaran sila tambahan.
Seorang siswa Buddha seharusnya tidak, dengan kehendak jahat, menyaksikan orang berkelahi atau tentara yang sedang bertempur, perampok, penyamun dan semacamnya. Ia seharusnya tidak mendengarkan suara kulit kerang, genderang, terompet, gitar, seruling, sitar, nyanyian, atau musik-musik lainya, ia tidak diperbolehkan ikut serta dalam segala bentuk perjudian, baik dadu, dam-daman atau semacamnya. Lebih lanjut, ia tidak boleh mempraktekan ramal meramal atau pernujuman ia juga tidak boleh menjadi kaki tangan pencuri ataupun perampok. Ia tidak boleh melibatkan diri dalam kegiatan manapun yang seperti itu. Jika sebaliknya, ia tetap berkehendak untuk melakukannya, ia melakukan sebuah pelanggaran sila tambahan.
Seorang siswa Buddha harus menyelami sila Bodhisattva setiap hari, apakah berjalan, berdiri, merunduk ataupun duduk, membaca dan melafalkannya siang dan malam. Ia seharusnya bertekat bulat menjaga sila, sekeras intan, putus asa seperti orang yang perahunya pecah, hanyut, menginginkan sebatang kayu kecil sambil bertekat akan menyeberangi lautan, atau seteguh bhiksu yang diikat dengan ilalang. Bahkan, ia harus senantiasa memiliki keyakinan yang baik pada ajaran Mahayana. Menyadari bahwa makhluk hidup adalah Buddha, menjadi kehendak Buddha untuk mencapai Kebuddhaan, ia seharusnya mengembangkan Bodhicitta dan menjaganya dalam setiap bentuk pikiran, tanpa kemerosotan. Jika seorang Bodhisattva hanya memiliki satu pikiran kearah Dua Jalan (Śrāvaka dan Pratyeka) atau ajaran thirtika, ia melakukan sebuah pelanggran sila tambahan.
Seorang Bodhisattva harus membuat banyak sumpah agung, berkasih sayang kepada orang tuanya serta Guru Dharma, untuk menemukan seorang pembimbing spiritual yang baik, sahabat, serta teman yang akan menjaga ajaran sutra Mahayana dan aturan sila untuknya, demikian pula tingkat-tingkat praktek Bodhisattva (sepuluh kediaman, sepuluh praktek, sepuluh pelimpahan kebajikan, dan sepuluh bumi) Ia harus mengembangkan sumpahnya lebih lanjut untuk memahami ajaran tersebut dengan jelas dengan demikian ia akan dapat menjalankannya sesuai Dharma, sambil berketetapan menjaga sila dari Sang Buddha. Jika perlu, ia harus mempertaruhkan hidupnya, daripada menghindari ketetapan ini meski hanya sekejap. Jika seorang Bodhisattva tidak membuat ikrar seperti demikian, ia melakukan sebuah pelanggaran sila tambahan.
Sekali seorang Bodhisattva telah mengucapkan ikrar agung tersebut, ia harus menjaga sila dari Sang Buddha dengan gigih serta membuat ketetapan demikian:
- Lebih baik aku akan melompat ke atas sebilah pisau tajam, jurang yang dalam, atau ke sebuah gunung pisau, dari pada harus berbuat tidak suci dengan wanita manapun, karena yang demikian merusak sutra serta aturan sila para Buddha dari ketiga masa.
- Aku lebih baik menutupi diriku sendiri dengan beratus ribu kali rajutan besi membara dari pada membiarkan tubuh ini, hendak memutuskan sila ini, memakai busana yang di sediakan oleh mereka yang berkeyakinan. Lebih baik aku menelan lelehan besi panas membara sebagai makan serta minum cairan besi panas selama beratus-ratus ribu kalpa, dari pada membiarkan mulut ini melanggar sila, memakan makanan dan minuman yang disediakan oleh mereka yang berkeyakinan.
Lebih baik aku berbaring diatas bara api atau jala besi yang menyala dari pada membiarkan tubuh ini, harus melanggal sila, berbaring diatas dipan, selimut dan bantal yang disediakan oleh mereka yang berkeyakinan. Aku lebih baik tercabik-cabik selama berkalpa-kalpa oleh beratus-ratus tombak, dari pada membiarkan tubuh ini, harus melanggar sila, mendapatkan kebutuhannya dari mereka yang berkeyakinan. Aku lebih baik melompat kedalam kuwali yang penuh minyak mendidih dan tergoreng selama beratus-ratus ribu kalpa, dari pada membiarkan tubuh ini, harus melanggar sila, setelah menerima tempat tinggal, hutan, taman serta lahan dari mereka yang berkeyakinan. - Aku lebih baik ditumbuk dari kepala hingga ke jempol kaki dengan palu besi yang besar, dari pada membiarkan tubuh ini, harus melanggar sila, setelah menerima hormat serta sikap penghormatan dari mereka yang berkeyakinan.
- Aku lebih baik memiliki dua mata yang buta karena beratus-ratus pedang dan tombak, dari pada melanggar sila karena melihat bentuk-bentuk yang indah. Dengan cara yang sama, aku akan menjaga batinku dari terpengaruh oleh suara, aroma, makanan dan sentuhan yang tidak wajar.
- Aku akan terus bersumpah hingga semua makhluk bertekat mencapai Kebuddhaan.
Jika seorang siswa Buddha tidak membuat ketetapan yang besar, ia melakukan sebuah pelanggaran sila tambahan.
Sebagai pemimpin, seorang siswa Buddha harus menjalankan praktek pertapaan dua kali setiap tahun. Ia harus duduk bermeditasi, musim semi dan musim panas, serta mendalami penyepian musim panas. Pada saat tersebut, ia harus senantiasa membawa serta delapan belas macam keperluan seperti tunas ranting (sebagai tusuk giri), air abu (sebagai sabun), tiga jubah tradisional bagi seorang pemula, tempat pembakaran dupa, mangkok pindapatra, bantal duduk, saringan air, alas tidur, salinan sutra dan aturan sila, begitu pula rupang Buddha serta Bodhisattva. Ketika menjalankan praktek pertapaan dan ketika bepergian, apakah tiga puluh mil atau tiga ratus mil, seorang pemula harus senantiasa memiliki kedelapan belas macam kebutuhan dasar bersamanya. Dua masa untuk melakukan pertapaan adalah tanggal 15 bulan pertama hingga tanggal 15 bulan ketiga candra sengkala, dan tanggal 15 bulan kedelapan hingga tanggal 15 bulan kesepuluh candra sengkala. Selama masa pertapaan, ia membutuhkan delapan belas kebutuhan pokok seperti halnya seekor burung memerlukan kedua sayapnya. Dua kali setiap bulannya, calon Bodhisattva harus menghadiri upacara Uposatha dan melafalkan Sepuluh Sumpah Utama dan Empat Puluh Delapan sumpah tambahan. Pelafalan tersebut harus dilakukan dihadapan rupang Buddha dan Bodhisattva. Jika hanya satu orang yang mengikuti upacara, ia harus melakukan pelafalan. Bila dua, tiga atau bahkan seratus ribu orang yang menghadiri upacara, tetap satu orang yang melakukan pelafalan. Semua yang lainya mendengarkan dalam keheningan. Orang yang melafalkan harus duduk ditempat duduk yang lebih tinggi dari yang hadir, setiap orang harus mengenakan jubah sesuai kedudukannya. Dimasa penyepian musim panas, setiap bentuk kegiatan harus diatur agar sesuai dengan Dharma. Jika menjalankan pertapaan, seorang siswa Buddha harus menghindari tempat-tempat berbahaya, kerajaan yang kacau, negeri yang dipimpin oleh raja jahat, daerah yang terjal, daerah liar terasing, daerah yang dihuni oleh para bandit, pencuri, singa, harimau, srigala, ular berbisa, daerah yang biasa dilanda badai taupan, banjir dan kebakaran. Seorang siswa harus menghindari semua tempat berbahaya tersebut saat melaksanakan pertapaan dan juga saat mendalami pengasingan diri musim panas. Bila sebaliknya, ia melakukan sebuah pelanggaran sila tambahan.
Seorang siswa Buddha harus duduk sesuai aturan bila dalam pesamuhan. Mereka yang menerima sila Bodhisattva lebih awal duduk lebih didepan, mereka yang menerima sila kemudian duduk dibelakangnya. Apakah tua atau muda, seorang bhiksu atau bhiksuni, seorang yang berkedudukan, seorang raja, seorang pangeran, orang kasim, atau seorang pelayan dan sebagainya, masing-masing harus duduk sesuai aturan dimana ia menerima sila. Siswa Buddha seharusnya tidak seperti thirtika atau orang candala yang menempatkan aturannya berdasarkan pada umur atau duduk dengan tanpa tata aturan sama sekali, seperti cara hidup orang tak berbudaya. Didalam Dharmaku, aturan duduk didasarkan pada senioritas penerimaan visudhi. Sehingga, jika seorang Bodhisattva tidak mengikuti aturan dalam duduk sesuai Dharma, ia melakukan sebuah pelanggaran Sila tambahan.
Seorang siswa Buddha seharusnya terus menerus menasehati dan mengajar semua orang agar mendirikan Vihara, Caitya dan Stupa di gunung, di hutan, di taman, dan diladang. Ia juga harus mendirikan stupa untuk Sang Buddha dan bangunan-bangunan penyepian untuk musim dingin dan panas. Seluruh sarana yang dibutuhkan untuk mempraktekan Dharma harus didirikan. Bahkan, seorang siswa Buddha harus menjelaskan sutra-sutra Mahayana dan sila Bodhisattva kepada semua makhluk. Ketika menderita sakit, terjadi bencana nasional, akan terjadi peperangan, atau kematian orang tuanya, saudara laki-laki atau saudara perempuannya, Guru Dharma dan Upajaya, seorang Bodhisattva harus mengajarkan serta menjelaskan ajaran sutra-sutra Mahayana dan sila Bodhisattva setiap minggu, hingga minggu. Seorang siswa harus membaca, melafalkan dan menguraikan sutra-sutra Mahayana serta sila Bodhisattva dalam setiap doa bersama, dalam pekerjaan yang ia lakukan dan pada saat datangnya bencana, kebakaran, banjir, badai, kapal hilang didalam gelombang laut atau dimangsa oleh makhluk jahat. Demikian pula halnya, ia juga harus melakukannya dalam maksud mengatasi karma buruk, ketiga alam rendah, delapan kesulitan, tujuh macam dosa, segala bentuk hukuman penjara, nafsu seksual yang berlebihan, kemarahan, kebodohan dan penyakit. Bila seorang calon Bodhisattva lalai melakukan apa yang telah dianjurkan, ia melakukan pelanggaran sila tambahan.
Seorang Bodhisattva harus dengan penuh hormat mempelajari dan mengkaji sembilan sila yang telah diurakan diatas, sebagaimana yang dijelaskan dalam bab “Altar Brahma.”
Seorang siswa Buddha seharusnya tidak memilih-milih dan memperlihatkan pilihan dalam memberikan sila Bodhisattva. Setiap orang dan masing-masing orang dapat menerima sila; raja, pangeran, pejabat tinggi, bhiksu, bhiksuni, upashaka, upashika, orang jangak, pelacur, para dewa di kedelapan belas surga alam Brahma atau di keenam alam surga keinginan, orang banci, orang biseksual, orang kasim, budak, denawa, semua jenis roh-roh. Seorang siswa Buddhis harus dianjurkan untuk memakai jubah dan tidur diatas kain yang berwarna netral, yang diperoleh dengan mencampur warna biru, kuning, merah dan ungu dilarutkan seluruhnya bersamaan. Pakaian para bhiksu dan bhiksuni seharusnya, disemua negeri, berbeda dengan yang dikenakan oleh penduduk biasa. Sebelum seseorang di ijinkan untuk menerima sila Bodhisattva, ia harus ditanya: “Apakah engkau telah melakukan suatu perbuatan dosa yang tak tertebuskan?” Guru Upajjaya harus tidak mengijinkan mereka yang telah melakukan dosa tersebut untuk menerima sila. Inilah ketujuh dosa yang tak tertebuskan: membuat darah Buddha mengalir, membunuh seorang Arhat, membunuh ayah sendiri, membunuh ibu sendiri, membunuh seorang Guru Dharma, atau memecah belas kerukunan Sangha. Kecuali bagi mereka yang telah melakukan dosa yang tak tertebuskan, setiap orang boleh menerima sila Bodhisattva. Peraturan Dharma Sangha Buddhis melarang bhiksu dan bhiksuni menyembah dihadapan penguasa, orang tua, sanak keluarga, mara dan roh-roh. Siapapun yang memahami penjelasan Guru Sila dapat menerima sila Bodhisattva. Untuk itu, jika seseorang yang datang dari tempat sejauh tiga hingga dua ratus mil untuk mencari Dharma dan Guru Sila, disebabkan karena kepicikan atau kemarahan, tidak bersedia memberikan sila-sila tersebut, ia melakukan sebuah pelanggaran sila tambahan.
Jika seorang siswa Buddha, saat mengajar orang lain dan membangkitkan keyakinan mereka didalam Mahayana, harus memahami bahwa orang tertentu ingin menerima sila Bodhisattva, ia harus bertindak sebagai seorang Guru pengajar dan menyuruh orang tersebut mencari dua orang Guru, seorang Guru Dharma dan seorang Guru Sila. Kedua orang guru tersebut harus bertanya kepada sang calon penerima sila, apakah ia telah melakukan ketujuh perbuatan yang tak tertebuskan dalam hidup saat ini. Jika ia telah melakukannya, ia tidak boleh menerima sila. Jika belum, ia dapat menerima sila. Bila ia telah melanggar salah satu dari kesepuluh sila utama, ia harus disuruh untuk menyesalinya dihadapan rupang Buddha dan Bodhisattva. Ia harus melaksanakannya enam kali sehari dan melafalkan sepuluh sila utama dan ke empat puluh delapan sila tambahan, memberi penghormatan dengan ungkapan yang sangat khusuk kepada Buddha dari ketiga masa. Ia harus terus melakukan hal seperti ini hingga ia menerima tanda menguntungkan, yang akan muncul setelah tujuh hari, empat belas hari, dua puluh satu hari, atau bahkan setahun. Contoh tanda menguntungkan tersebut meliputi: merasakan bahwa sang Buddha mengelus bagian atas kepala kita, atau melihat sinar, lubang, bunga dan kejadian-kejadian tidak biasa lainnya. Menyaksikan tanda yang menguntungkan menunjukan bahwa karma dari calon tersebut telah dilenyapkan. Bila tidak, meskipun ia telah menyesali, itu tidaklah berguna. Ia tetap saja belum menerima sila. Akan tetapi, kebajikan yang berlangsung akan meningkatkan peluang baginya untuk menerima sila dalam hidup yang akan datang. Tak seperti kejadian dalam sila utama Bodhisattva, jika seorang calon telah melanggar yang manapun dari ke empat puluh delapan sila tambahan, ia dapat mengakui pelanggarannya dan dengan kidmat menyesalinya dihadapan bhiksu atau bhiksuni Bodhisattva. Setelah itu, pelanggarannya akan dipulihkan kembali. Guru yang berwenang, meski demikian, harus sangat memahami sutra-sutra Mahayana dan aturan sila tambahan demikian pula sila utama Bodhisattva, apakah yang termasuk sebagai pelanggaran dan apakah yang bukan, kebenaran Makna Pendahuluan, begitu juga berbagai tingkat pengembangan Bodhisattva, sepuluh kediaman, sepuluh praktek, sepuluh pelimpahan, sepuluh bhumi dan keseimbangan serta Pencerahan Yang Menakjubkan. Ia juga harus mengetahui jenis-jenis serta tingkatan-tingkatan perenungan yang diperlukan untuk masuk dan keluar dari tingkatan tersebut, membiasakan diri dengan kesepuluh Bodhiangga, serta dengan berbagai macam perenungan lainya. Bila ia tak terbiasa dengan yang disebutkan diatas dan disebabkan oleh keinginan akan kemasyuran, murid atau persembahan, ia menyatakan bahwa ia telah memahami sutra dan aturan sila, ia telah menipu dirinya sendiri dan juga orang lain. Oleh karena, jika ia terus menerus bertindak sebagai seorang Guru Sila, menurunkan sila kepada orang lain, ia melakukan sebuah pelanggaran sila tambahan.
Seorang siswa Buddha seharusnya tidak boleh, dengan suatu niat ketamakan, membabarkan sila besar dari para Buddha dihadapan mereka yang tidak menerimanya, para thirtika atau orang dengan pandangan yang bias. Kecuali dalam kasus seorang raja atau penguasa tertinggi, ia tidak boleh mengungkapkan sila dihadapan orang-orang seperti itu. Orang yang menganut pandangan bias dan tidak menerima sila para Buddha dikarenakan sifatnya tidak terkendali. Mereka, dari kehidupan kekehidupan tak akan berjumpa dengan Tri Ratbna. Ada yang tak punya akal seperti pohon dan batu; ia tiada beda dengan tongkat kayu. Karena itu, jika seorang siswa Buddha menjelaskan ajaran dari ketujuh Buddha dihadapan orang yang seperti demikian, ia melakukan sebuah pelanggaran sila tambahan.
Jika seorang siswa Buddha bergabung kedalam Sangha dikarenakan keyakinannya yang suci, menerima ajaran benar dari Sang Buddha, akan tetapi kemudian mengembangkan gagasan yang melanggar ajaran, ia tidak pantas untuk menerima persembahan apapun dari mereka yang berkeyakinan, tidak pantas berjalan diatas tanah di tanah airnya, dan tidak pantas meminum airnya. Lima ratus ribu makhluk penjaga akan dengan spontan menghadang jalannya, memanggilnya “Pencuri Jahat!” Makhluk-makhluk halus tersebut senantiasa akan mengikutinya hingga kedalam rumah orang, desa-desa dan kota, menghapuskan jejak kakinya yang baru. Setiap orang yang berbuat seperti siswa tersebut, panggilah ia sebagai “Pencuri Dalam Dharma.” Semua makhluk menutup matanya, tak sudi melihatnya. Seorang siswa Buddha yang melanggar sila tak ada bedanya dengan binatang atau tongkat kayu. Karenanya, jika seorang siswa berusaha melanggar sila yang benar, ia melakukan sebuah pelanggaran sila tambahan.
Seorang siswa Buddha harus senantiasa dengan penuh konsentrasi menerima, menyelami, membaca dan melafalkan sutra-sutra Mahayana dan aturan sila. Ia harus menyalin sutra serta aturan sila kedalam kulit kayu, kertas, kain terpilih, atau bilahan bambu dan tidak ragu-ragu untuk menggunakan kulitnya sendiri sebagai kertas, mengalirkan darahnya sendiri sebagai tinta cairnya dan mematahkan tulangnya sebagai pena. Ia harus menggunakan batu permata, dupa yang tiada terhingga dan bunga serta benda-benda berharga lainya untuk membuat dan menghias kotak untuk menyimpan sutra dan sila. Untuk itu, bila ia tidak membuat persembahan kepada sutra serta aturan sila, sesuai dengan Dharma, ia melakukan sebuah pelanggaran sila tambahan.
Seorang siswa Buddha harus mengembangkan pikiran Mahakaruna. Kapanpun ia memasuki rumah orang, desa, kota besar atau kecil, dan juga melihat makhluk hidup, ia harus berkata dengan keras: “Kalian para makhluk hidup semua harus mengambil tiga perlindungan dan menerima kesepuluh sila (Bodhisattva).” Begitu pula pada saat berpapasan dengan sapi, babi, kuda, domba, serta berbagai macam binatang lainya, ia harus berkonsentrasi sambil berkata: “Kalian kini binatang, kalian harus mengembangkan Bodhicitta.” Seorang Bodhisattva, kemanapun ia pergi, apakah ia pergi memanjat gunung, memasuki hutan, menyeberangi sungai, berjalan melintasi lading, harus menolong semua makhluk membangkitkan Bodhicitta. Jika seorang siswa Buddha tidak sepenuh hatinya mengajar dan menyelamatkan makhluk hidup dengan jalan tersebut, ia melakukan sebuah pelanggaran sila tambahan.
Seorang siswa Buddha harus senantiasa memiliki pikiran Mahakaruna untuk mengajar dan mengubah makhluk hidup. Apakah ia mengunjungi donatur orang kaya serta bangsawan atau menuju ke tempat pertemuan Dharma, ia tidak boleh tetap berdiri sambil menjelaskan Dharma kepada perumah tangga, akan tetapi harus mengambil tempat duduk tinggi dihadapan pesamuhan para perumah tangga. Seorang bbhiksu yang menjadi seorang pengajar Dharma tidak boleh berdiri sambil memberi pengajaran kepada pesamuhan empat macam golongan. Pada pengajaran seperti itu, Guru Dharma harus duduk diatas tempat duduk tinggi ditengah dupa dan bunga, sementara pesamuhan keempat golongan harus mendengarkan dari tempat duduk yang lebih rendah. Pesamuhan harus menghormat dan mengikuti Guru seperti seorang anak berbakti menghormati orang tuanya atau Brahmana memuja api. Jika seorang Guru Dharma tidak mengikuti aturan tersebut pada waktu mengajarkan Dharma, ia melakukan sebuah pelanggaran sila tambahan.
Seorang siswa Buddha yang telah menerima ajaran para Buddha dengan pikiran penuh keyakinan, seharusnya tidak menggunakan kedudukan jabatannya yang tinggi (seperti sebagai raja, pangeran, pejabat tinggi dll) untuk mengubah aturan sila dari para Buddha. Ia tidak dibenarkan membuat aturan dan ketentuan yang menghalangi keempat macam siswa perumah tangga bergabung dengan Sangha dan mempraktekan sang jalan, tidak dibenarkan melarang pembuatan gambar Buddha dan Bodhisattva, rupang dan stupa, atau mencetak dan menyebar luaskan sutra serta aturan sila. Demikianlah, ia seharusnya tidak membuat peraturan dan ketentuan, menaruh pengawas terhadap keempat golongan. Jika para petinggi menempatkan para perumah tangga melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Dharma, ia tiada bedanya dengan musuh dalam status sebagai penguasa yang tidak sah. Seorang Bodhisattva harus dengan benar menerima penghormatan dan persembahan dari semua. Jika sebaliknya, ia terpaksa mematuhi penguasa, ini bertentangan dengan Dharma, bertentangan dengan aturan sila. Untuk itu, jika seorang raja atau pejabat telah menerima sumpah Bodhisattva dengan pikiran mulia, ia harus menghindari kejahatan yang menyakiti Sang Triratna. Bila sebaliknya, ia berniat melakukan perbuatan yang demikian, ia dia dinyatakan melanggar sila tambahan.
Seorang siswa Buddha yang menjadi bhiksu dengan kehendak mulia seharusnya tidak berbuat, baik demi kemasyuran ataupun demi keuntungan, menjelaskan sila kepada raja atau pejabat dengan cara tertentu yang menyebabkan bhiksu, bhiksuni atau upashaka yang telah menerima sila Bodhisattva dilepaskannya, memasukannya kedalam penjara atau memaksannya menjadi tentara. Jika seorang Bodhisattva berbuat demikian, ia tiada bedanya dengan belatung di tubuh singa, memakan habis seluruh daging singa. Ini tidak dapat dilakukan oleh belatung yang berada diluar tubuh singa. Demikianlah, hanya siswa Sang Buddha yang dapat meruntuhkan Dharma, bukan thirtika atau mara yang sanggup melakukannya. Mereka yang sudah menerima ajaran Buddha harus melindungi serta menyelaminya sebagaimana seorang ibu yang merawat anaknya yang tunggal atau seorang anak berbakti kepada orang tuanya. Ia tidak boleh melanggar ajaran. Jika seorang Bodhisattva mendengar thirtika atau orang yang berpikiran jahat mengucapkan kata-kata jahat, atau merendahkan, ajaran Buddha, ia harus merasa seolah hatinya tercabik oleh tiga ratus pisau, atau tubuhnya berguncang dengan ribuan pisau atau tertembus oleh beribu-ribu tombak. Ia lebih bbaik menderita dialam neraka selama beratus-ratus kalpa hari pada mendengar makhluk jahat merendahkan ajaran Buddha. Betapa akan lebih jahatnya bilamana siswa sendiri yang melanggar ajaran atau mengajak orang lain melakukannya! Ini sungguh bukan pikiran bakti! Untuk itu, jika ia melanggar sila dengan sengaja, ia melakukan sebuah pelanggaran sila tambahan.
Lanjutan sembilan sila harus dipelajari dan dengan penuh hormat di kaji dengan penuh keyakinan.
Sang Buddha berkata: “Kalian para siswa! Terdapat empat puluh delapan sila tambahan yang harus kalian selami. Para Bodhisattva dari masa lampau telah melafalkannya, mereka dari masa nanti akan melafalkannya, mereka dari masa sekarang sedang melafalkannya. “Siswa Buddha! Kalian semua harus mendengar! Kesepuluh sila utama dan ke empat puluh delapan sila tambahan dilafalkan oleh semua Buddha dari ketiga masa, masa lampau, masa sekarang dan masa yang akan datang. Aku sekarang melafalkannya juga.”
Sang Buddha melanjutkan: “Semua yang hadir dalam pesamuhan, para raja, pangeran, para pejabat, bhiksu, bhiksuni, upashaka, upashika serta mereka yang telah menerima sila Bodhisattva, harus menerima dan mendalami, membaca, melafalkan, menjelaskan dan menyalin sila dari Nirmanakaya Buddha dengan demikian ia dapat disebar luaskan tanpa gangguan demi kebajikan bagi semua makhluk. Mereka kemudian akan menjumpai Buddha dan menerima ajaran dari setiap orang secara berurutan. Dari hidup ke hidup, mereka akan melepaskan diri dari Jalan Yang Salah dan Kedelapan Kesulitan, dan akan senantiasa terlahir dialam manusia dan dewa.” Aku telah menyelesaikan penjelasan umum ajaran para Buddha dibawah pohon Bodhi. Semua yang berada dalam pesamuhan ini harus dengan penuh perhatian mempelajari sila Pratimoksa dan dengan senang hati menyelaminya. Ajaran tersebut diuraikan dengan terperinci didalam bab penghabisan “Raja Surgawi Tanpa Tanda.”
Pada saat itu, para Bodhisattva dari tiga ribu jagat raya duduk mendengarkan dengan penuh hormat kepada Sang Buddha yang melafalkan sila. Lalu mereka dengan sukacita menerima dan menyelaminya.
Karena Sang Buddha Sakyamuni menyelesaikan penjelasan Sepuluh Sila Yang Tak Akan Surut dari bab Cittabhumi Pintu Dharma, (dimana Sang Buddha Vairochana dimasa lampau membabarkannya dialam Teratai Harta Dunia, tak terbilang Buddha Sakyamuni lainya juga melakukan hal yang sama.
Karena Sang Buddha Sakyamuni membabarkannya di kesepuluh tempat yang berbeda, dari alam surga Mahesvara hingga ke pohon Bodhi, demi kebajikan bagi tiada terbilang para Bodhisattva dan makhluk hidup lainya, para Buddha yang tiada terbilang jumlahnya di alam Teratai Harta Dunia yang tak terhingga juga melakukan hal yang sama.
Mereka menguraikan Harta Pikiran Buddha (Tiga Puluh Pikiran), Harta Bumi, Harta Sila, Perbuatan Tak Terbatas, dan Harta Ikrar, Harta Sifat Kebuddhaan (Tathagata Garbha) Yang Senantiasa Hadir sebagai sebab dan akibat tercapainya Kebuddhaan. Demikianlah, semua Buddha menyelesaikan penjelasannya atas harta Dharma yang tak terbilang.
Semua makhluk hidup di bermilyar-milyar jagat raya dengan sukacita menerima dan mendalami ajaran tersebut.
Slokha-slokha pujian
Pertapa dengan samadhi dan kebijaksanaan agung
Dapat menyelami ajaran ini.
Bahkan sebelum mencapai Kebuddhaan
Ia diberkati dengan lima kebajikan:
Pertama, para Buddha dari kesepuluh penjuru
Senantiasa mengingatnya didalam hati dan melindunginya.
Kedua, pada saat kematian
Ia memiliki pandangan benar dengan pikiran sukacita.
Ketiga, dimanapun ia dilahirkan,
Para Bodhisattvalah yang menjadi temannya.
Keempat, jasa dan kebajikan berkembang karena
Ajaran paramita telah terealisasikan.
Kelima, dalam hidup yang sekarang dan selanjutnya,
Menyelami seluruh sila, yang penuh dengan
Kebajikan serta kebijaksanaan.
Siswa yang demikian adalah putera Buddha.
Orang yang bijaksana harus merenungkan ini dengan baik.
Makhluk biasa yang mendambakan tanda serta ego,
Tak dapat menerima ajaran ini.
Demikian pula penganut Kedua Jalan,
Yang berdiam dalam kesunyian,
Tak dapat menyemai benih didalamnya.
Untuk merawat tunas Bodhi,
Untuk menerangi dunia dengan kebijaksanaan,
Engkau harus dengan berhati-hati menelaah
Tanda sesungguhnya dari segala Dharma.
Bukan diahirkan dan bukan pula tidak dilahirkan,
Bukan eksternal bukan pula internal,
Tidak sama juga tidak berbeda
Tidak datang dan juga tidak pergi.
Dalam keadaan batin yang terkonsentrasi tersebut
Seorang siswa harus dengan tekun menumbuhkan,
Serta menyandang praktek dan perilaku Bodhisattva
Dalam rangkaian kewajiban.
Diantara pelajaran belajar dan bukan belajar,
Ia seharusnya tidak mengembangkan pikiran yang membeda-bedakan.
Demikianlah Jalan Yang Masyur –
Yng juga dikenal sebagai jalan Mahayana.
Segala bentuk penyanggahan yang sekedar spekulasi dan perdebatan yang
tiada arti
Semua yang lain lenyap berkaitan dengan hal ini;
Kebijaksanaan tiada tara Sang Buddha
Juga timbul dari sini.
Karenanya, semua siswa Buddha
Harus mengembangkan ketetapan yang besar,
Serta dengan ketat menyelami ajaran Sang Buddha.
Dengan memandang bahwa ajaran Sang Buddha adalah mustika cemerlang.
Seluruh Bodhisattva dari masa lampau,
Telah mempelajari ajaran tersebut;
Mereka dari masa akan datang akan mempelajarinya.
Mereka pada masa sekarang juga mempelajarinya.
Inilah jalan yang ditempuh oleh para Buddha,
Serta dipuji oleh para Buddha.
Aku sekarang telah menyelesaikan penjelasan sila,
Batang tubuh jasa dan kebajikan yang tiada terkirakan.
Aku sekarang melimpahkan semuanya kepada makhluk hidup;
Semoga mereka semua mencapai Kebijaksanaan Tertinggi;
Semoga makhluk hidup yang mendengarkan Dharma ini
Seluruhnya mencapai tingkat Kebuddhaan.
Slokha-slokha pelimpahan kebajikan
Di dunia Harta Teratai,
Buddha Vairochana menguraikan ketiada terbatasan bagian dari Cittabhumi
Pintu Dharma,
Menurunkannya kepada Sang Buddha Sakyamuni:
Sila utama serta sila tambahan dengan jelas telah diturunkan,
Semua makhluk memperoleh kebajikan tiada terhingga.
Namo Vairochana Buddhaya,
Buddha dari Brahmajala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar